Rabu, 18 Januari 2017

Eskatologi



BAB I
PENDAHULUAN
   “Kita hidup dengan iman, bukannya dengan penglihatan” hal ini terang sekali, kalau kita memikirkan eskatologi.
Eskatologi adalah bagian dogmatika, yang membicarakan pernyataan Kitab Suci tentang hal-hal yang terjadi sesudah orang meninggal dan hal-hal yang akan terjadi pada zaman yang terakhir (ta eschata= hal-hal yang terakhir). Hal-hal yang mahapenting yang harus diperhatikan sungguh-sungguh dalam memikirkan eskatologi ialah, bahwa cara berfikir kita harus selalu teosentris. Terutama kita disini diancam bahaya karena keinginan untuk mengetahui akan hal-hal yang berhubungan dengan nasib kita sesudah mati. Pernyataan-pernyataan yang banyak timbul hanya menampakkan keinginan ini dengan jelas sekali bukan teosentris melainkan egosentris. Umpamanya: apakah saya akan mengenal orang-orang yang saya cintai sekarang? Kalau tidak menjumpai mereka apakah kebahagiaan dapat menjadi sempurna?
Hal yang kedua harus diingat ialah, bahwa “keinginan mengetahui” tadi juga menimbulkan keinginan untuk memperhitungkan, oleh karena kita ingin tahu kapankah Tuhan Yesus datang kembali.
Padahal kitab suci tidak memberi bahan-bahan perhitungan. Hanya kepastian dari hal-hal yang dinyatakanlah yang harus kita pegang. Kitab suci tidak boleh menjadi pendorong dalam perhitungan waktu, tetapi harus menjadi pendorong untuk berjaga.







BAB II
ESKATOLOGI (AKHIR ZAMAN)
   Dalam Luk. 1:54,55 Maria mengucapkan keyakinannya, bahwa dengan akan dilahirkannya Kristus itu Tuhan Allah berkenan menolong Israel dengan mengingat rahmatNya seperti yang telah dijanjikan kepada nenek moyang Israel (bnd. Luk. 1:68,69,70-79; dll). Kata-kata ini menunjukkan, bahwa kedatangan Kristus adalah pemenuhan janji Allah yang telah dijanjikan kepada Abraham dan kepada keturunannya. Apa yang pada zaman-zaman dahulu menjadi rahasia, sekarang dengan kedatangan Kristus telah diberitahukan kepad umum. Apa yang dahulu masih gelap, sekarang dengan kedatangan Kristus telah menjadi terang. Oleh karena itu zaman-zaman yang dahulu itu berbeda sekali sifat dan keadaannya jikalau dibandingkan dengan zaman setelah Kristus dilahirkan.
Zaman sejak Kristus dilahirkan, zaman kristus atau zaman Mesias ini, adalah zaman keselamatan, zaman yang didalam urutan-urutan segala zaman atau di dalam urutan-urutan sejarah manusia mewujudkan zaman yang berbeda sendiri, yang memiliki ciri tersendiri, yang menentukan zaman-zaman yang mendahuluinya. Zaman taurat dan zaman para nabi  diakhiri hingga zaman  Yohanes Pembabtis. Sesudah itu dimulailah zaman baru (Mat 11:13; Luk 16:16).
Zaman Mesias ini disebut: penyelesaian zaman (synteleia toon aioonoon, Ibr 9:26), akhir masa (eskhaton toon khronoon, I Pet 1:20), saat terakhir (eskhate hoora, I Yoh 2:18),akhir zaman (tele toon aioonoon, I Kor 10:11).
Menurut Alkitab keselamatan pada zaman akhir ini memiliki dua segi, yaitu bahwa pada akhir ini telah ada keselamatan, akan tetapi di lain pihak dikatakan juga bahwa keselamatan masih di depan kita atau belum ada. Artinya: keselamatan dengan segala hubungannya, yang hingga sekarang telah diberikan oleh Tuhan Allah kepada orang beriman. Oleh karena itu zaman sekarang ini, atau zaman akhir ini, disebut dimana “kita hidup karena percaya” (II Kor 5:7). Orang beriman masih hidup dalam pengharapan akan menerima kesempurnaan keselamatannya (Rm 5:2).
Akhir zaman bersamaan dengan kedatangan Kristus  yang kedua kali, digambarkan sebagai puncak segala sesuatu, sebagai tindakan Tuhan Allah yang baru, yang dilaksanakan dengan kuat kuasaNya. Jadi akhir zaman bagi Alkitab bukan hal yang penting, yang hanya berfungsi sebagai penutupan segala kejadian yang biasa saja, bukan. Akhir zaman adalah musim penuaian untuk memisahkan yang baik dan yang jahat (Mat 13:39,40,49; 23:3; 28:20), atau kegenapan waktu untuk mempersatukan segala sesuatu di dalam Kristus sebagai kepala, baik yang disorga maupun yang di bumi (Ef 1:10).
Oleh karena itu maka dalam 1 dan 2 Tes. Dan dalam 1 Kor 15 mata harapan orang beriman harus diarahkan kepada akhir zaman. Disitulah kemah tempat kediaman kita di bumi  akan di bongkar dan diganti dengan tempat kediaman di sorga, sutu tempat kediaman yang kekal (I Kor 5:1), atau di situlah tubuh alamiah kita akan dibangkitkan menjadi tubuh rohaniah (I Kor 15:44), atau di situlah tubuh kita yang hina akan diubah hingga serupa dengan Tubuh Kristus yang mulia (Flp 3:21), dll.

Keadaan orang sudah ia meninggal dan sebelum kedatangan Tuhan Yesus kembali.
Dalam PL kita menjumpai kata sye-ul. Sye-ul menurut pandangan PL adalah tempat yang ada di bawah dunia ini (Ul 32:22; Yes 14:9). Ke sanalah perginya orang mati (Mzm 89:49), di sana tidak ada lagi suatu perbuatan (Pkh 9:10), di sana Tuhan tidak dipermuliakan (Yes 38:18; Mzm 6:6). Sye-ul bukan tempat kebahagiaan, malahan tempat yang menjauhkna dari kebahagiaan yang dicita-citakan pada orang saleh. Sye-ul tidak tepat kalau diterjemahkan dengan neraka, akan tetapi terjemahan lebih tepat ialah dengan dunia maut, alam maut, kekuasaan maut.
Pengharapan dalam perjanjian lama adalah kebahagiaan sesudah mati. Kebahagiaan ini tempatnya dekat tahta Tuhan saja, di hadapan Tuhan juga kepad tempat dekat dengan Tuhan, di mana ia dapat melihat wajah Tuhan dan menjadi puas dengan rupa Tuhan (Mzm 17). Dan hamba Tuhan dalam PL percaya, bahwa Tuhan akan mengangkatnya ke dalam kemuliaan sesudah ia mati (Mzm 73:24; 49:16). Pengharapan dan kepercayaan ini juga diungkapkan oleh Ayub (19:25-27) dan Yesaya (29:19)
Dalam PB hades adalah tempat kemana segala orang datang sesudah mati, baik yang  namanya tertulis di dalam kitab kehidupan, maupun yang tidak. (Why 20:15). Oleh karena itu hades juga bukan neraka melainkan alam maut.
Ada dua kemungkinan bagi orang sesudah mati: ke Firdaus atau ke Neraka perginya. Nama “Firdaus” dipakai dalam Lukas 23:43 oleh Tuhan Yesus Sendiri dan kemudian kita baca dalam 2 Korintus 12:4 dan Wahyu 2:7 “Firdaus” adalah sama dengan “sorga”.
Bagi “neraka” dalam Perjanjian Baru terdapat kata-kata phulake (1 Pet 3:19), abussos (Rm 10:7), dan ge-enna (Mark 9:43) dan juga rangkaian kata-kata: “lautan api yang bernyala oleh belerang” (Why 19:20) dan “kegelapan yang paling dahsyat” (2 Pet 2:17). Di sinilah tempat penderitaan hukuman yang kekal.
Asal-usul dan perkembangan angka 666 dalam sejarah
Dalam sistem ibadah mereka, mereka memiliki 37 dewa-dewi utama, dan salah satunya, yaitu Dewa Matahari, adalah yang terutama di antara semuanya. Orang-orang Babel percaya angka-angka mengandung kekuatan atas dewa-dewi yang mereka sembah. Dalam sistem ibadah mereka, mereka memiliki 37 dewa-dewi utama, dan salah satunya, yaitu Dewa Matahari, adalah yang terutama di antara semuanya. Orang-orang Babel percaya angka-angka mengandung kekuatan atas dewa-dewi yang mereka sembah.
Tentu saja, mereka harus menciptakan angka-angka yang dapat mereka pakai untuk mengidentifikasi dewa-dewi itu supaya mereka dapat menguasai dewa-dewi itu. Untuk melakukan ini, mereka menghitung dewa-dewi mereka dan mengkaitkan sebuah angka pada masing-masing ke-36 dewa-dewi yang lebih rendah derajatnya dari Dewa Matahari, lalu menjumlahkan semua angka-angka ini (dari 1 hingga 36) dan memberikan angka hasil penjumlahan itu kepada Dewa Matahari (dewa yang ke-37).
Dewa pertama yang mereka identifikasi diberi nomor 1, dewa kedua diberi nomor 2, seterusnya sampai 36. Mereka menghitungnya seperti ini:
   1 + 2 + 3 + 4 + 5 + 6 + 7 + 8 + 9 + 10 + 11 + 12 + 13 + 14 + 15 + 16 + 17 + 18 + 19 + 20 + 21 + 22 + 23 + 24 + 25 + 26 + 27 + 28 + 29 + 30 + 31 + 32 + 33 + 34 + 35 + 36 = 666 (Dewa Matahari, dewa ke-37)
 Jadi, angka 666 muncul di dunia ini karena praktik ibadah penyembahan dewa dan astrologi bangsa Babel kuno.
Ditulis sejak kuliah di STAKPN Tarutung

1 komentar: