Rabu, 18 Januari 2017

Teori Hak Asasi Manusia (HAM)



TEORI-TEORI HAK-HAK ASASI MANUSIA
Dalam falsafah hukum dan politik zaman sekarang ada cukup banyak keragaman, ketidaksesuaian dan kekacauan tentang persoalan hak-hak asasi manusia. Tidak semua orang sepakat tentang pentingnnya nilai moral dari suatu teori tentang hak-hak dasar. Pembahasan sekuler modern mengenai hak-hak asasi manusia cenderung mengabaikan dukungan-dukungan agama pada teori hak-hak asasi manusia. Kecenderungan pada zaman sekarang ialah menyimpulkan hak-hak dasar dari fakta-fakta empiris atau dari penggunaan akal. Teori-teori yang didasarkan pada akal bawaan manusia berusaha membuat perhitungan rasional tentang hak-hak manusia manakah yang seharusnya yang ada didalam masyarakat.
Disarankan agar teori-teori sekuler tentang hak-hak asasi manusia jangan diperlakukan sebagai bertentangan dengan pandangan-pandangan keagamaan. Keduanya dapat saling melengkapi dan memperkuat. Agama mempunyai suatu pengaruh yang kuat pada hati dan pikiran jutaan rakyat diseluruh Dunia. Dukungan Agama bagi martabat manusia serta desakannya pada pembatasan-pembatasan moral atas kekuasaan pemerintah merupakan alat yang ampuh untuk melawan penindasan dan ketidakadilan. Agama itu dahulu dan sekarang, serta nantinya akan senantiasa merupakan kekuatan yang ampuh melawan tirani. Doktrin bahwa setiap laki-laki dan perempuan adalah anak-anak Allah dan bahwa kepribadian mereka karenanya adalah kudus, membawa serta suatu keyakinan akan suatu kebebasan-kebebasan sipil dan penolakan terhadap ideologi yang menjunjung tinggi Negara diatas harkat manusia. Agama Kristen “Teologi Pembebasan” berusaha membebasakan umat manusia dari segala sesuatu yang memperhambat dan menindasnya.
Oleh karena itu pembahasan tentang hak-hak asasi manusia harus mencari dukungan dan bimbingan dari doktrin keagamaan, sebab berbeda dengan teori-teori sekuler, keyakinan keagamaan tentang harkat manusia tidak mudah dikesampingkan atau dianggap melawan hukum.



HAK-HAK MANUSIA YANG DASAR, ALAMI DAN ASASI
Hak asasi manusia  adalah hak dasar atau pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bukan pemberian penguasa. Hak ini sifatnya mendasar atau fundamental bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati, yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.
Hak-hak dasar melekat sejak lahir. Hak-hak tersebut barlaku bagi setiap anggota umat manusia tanpa memperhatikan faktor-faktor pemisah seperti Ras, Agama, Warna kulit, Kasta, Kepercayaan, Jenis kelamin atau Kebangsaan. Hak-hak itu bersifat Supralegal : Tidak tergantung pada adanya suatu Negara atau undang-undang dasar, mempunyai wewenang untuk bertindak lebih tinggi, dan lepas dari pemerintah, dan dimiliki manusia, bukan karena perbuatan amal dan kemurahan hati Negara tetapi karena berasal dari sebuah sumber yang lebih unggul dari pada hukum buatan manusia. Hak-hak dasar tersebut berperan sebagai garis-garis batas moral bagi wewenang pemerintah.Hak-hak tersebut secara konsitusional dilindungi dari penyalahgunaan oleh badan legislatif atau badan eklusif.

HAK ASASI WARGA NEGARA DAN SASARAN PERLINDUNGAN KHUSUS HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
Pada dasarnya instrumen HAM sedunia melindungi seluruh umat manusia. Namun ada yang mendapatkan perhatian secara khusus, yaitu kelompok-kelompok rentan yang lazimnya tidak mampu melindungi Hak Asasinya sendiri, seperti;
a.    Kanak-kanak
b.    Kaum wanita
c.    Kaum pekerja
d.   Minoritas
e.    Penyandang cacat
f.     Penduduk asli atau suku terbelakang (indigenous people)
g.    Tersangka, tahanan dan tawanan
h.    Budak
i.      Korban kejahatan
j.      Pengungsi
k.    Mereka yang tidak berkewarganegaraan (stateless)

HAK-HAK NEGATIF DAN HAK-HAK POSITIF
Sebagian besar undang-undang dasar di Dunia memuat ayat-ayat untuk mengamankan kehidupan, kebebasan, harta benda, kebebasan berbicara, kebebasan beragama dan seterusnya. Ini adalah kebebasan-kebebasan negatif karena kebebasan-kebebasan itu tumbuh subur apabila tidak dicampuri Negara. Hak-hak positif, seperti hak atas pendidikan, pekerjaan, persamaan, ekonomi, keamanan sosial dan kelangsungan hidup membutuhkaan tindakan nyata dan tegas dari  pihsk Negara.Hak-hak itu mengungkapkan tuntutan-tuntutan tegas atas pemerintah untuk melindungi yang lemah dari kemiskinan dan untuk menolong mereka yang kekurangan.
            Namun, sebagian besar undang-undang dasar itu tidak memuat hak-hak positif karena besarnya implikasi ekonomi dan sosial dari hak-hak positif yang dapat ditegakkan secara hukum semacam itu. Oleh karena itu banyak sistem hukum menempuh semacam jalan tengah dengan mencantumkan suatu bab tentang prinsip-prinsip dalam garis besar haluan Negara tetapi membuat ayat-ayat bab tersebut tidak dapat diadili dalam suatu pengadilan hukum

HAK ASASI  DAN HAK KESEHATAN YANG BERKAITAN DENGAN PEWABAHAN HIV/AIDS
            Setiap orang memiliki hak atas kesehatan sebagai hak fundamental. Sehingga dengan adanya hak tersebut setiap individu memiliki kewajiban untuk berusaha memenuhi standar kesehatan yang tertinggi yang mungkin tercapai dalam masyarakat.  Dengan latar pemikiran tersebut, kita dapat memahami bahwa Negara atau pemerintah menetapkan kebijakan atau strategi dalam upaya menciptakan keadaan dimana hak-hak kesehatan bisa dipenuhi untuk mencapai tujuan yang dapat diterima. Namun kenyataannya sering terjadi bahwa kebijakan dan strategi tersebut justru sebaliknya membatasi hak-hak diri seseorang atau kelompok dalam masyarakat.
 Kita dapat melihat sejauh manakah pembatasan tersebut dapat diterima, karena pembatasan ini dibuat untuk melindungi hak orang lain atau kelompok masyarakat. Secara praktis dapat dikatakan sejauh mana pemerintah dapat mengatur, melakukan pencegahan, menangani, menanggulangi penyebaran HIV/AIDS dengan membatasi hak-hak seseorang atau hak satu kelompok dalam masyarakat.
Pembatasan terhadap hak sebenarnya dikenal dan diakui dalam  komunitas internasional, dimana pernyataan umum tentang hak asasi manusia juga diakui adanya pembatasan-pembatasan terhadap hak-hak seseorang. Untuk memahami sejauh mana Negara berhak membatasi hak-hak tersebut, pernyataan umum hak asasi manusia memberikan penegasan : ”Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh UU dan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak bagi hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain dan untuk memenuhi syarat-syarat benar dari kesusilaan, tata tertib umum, serta keselamatan umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Pembatasan itu harus ditetapkan dengan UU dan memiliki tujuan pembatasan yang jelas sepenuhnya untuk menjamin hak-hak dan kebebasan orang lain. Untuk itu diperlukan syarat-syarat yang benar-benar adil, the just requirement. Jadi tidak didasarkan pada prasangka buruk, tidak didasarkan pada pengetahuan yang setengah-setengah, dan didasarkan pada pendapat-pendapat yang stereotip, tetapi the just requitment itu membutuhkan suatu pemahaman dan pengetahuan yang memadai.
Sebagai contoh, bilamana seseorang dipecat dari pekerjaannya karena mengidap penyakit HIV/AIDS hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak-haknya. Orang yang melakukan pemecatan itu karena tidak mempunyai pengetahuan yang cukup bahwa sebenarnya orang tersebut tidak apa-apa bekerja ditempat kerjanya. Serta penolakan disekolah seperti yang terjadi di Irian Jaya, hal itu merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Dan bilamana ada rumah sakit yang menolak seorang pengidap HIV/AIDS untuk memperoleh perawatan, hal itu jelas merupakan pelanggaran.
Kenapa terjadi penolakan sebenarnya didasarkan pada pengetahuan yang tidak cukup sehingga pembatasan terhadap apa yang sebenarnya dibolehkan itu menjadi pelanggaran. Bisa karena pengetahuan dari lembaga yang bersangkutan atau ketakutan mengenai pengetahuan masyarakat luas yang bisa mengancam posisi lembaga tersebut dalam masyarakat. Ancaman pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia sebenarnya tidak hanya datang dari pihak pemerintah atau Negara, tetapi ancaman terhadap hak-hak itu sendiri bisa datang dari masyarakat. Kita bisa membaca bagaimana dalam kelompok-kelompok masyarakat juga melakukan tindakan yang melanggar hak asasi dari seorang penderita HIV.
Berat dugaan kita bahwa masyarakat itu sendiri tidak mempunyai pengetahuan yang cukup hingga ia dapat menghormati hak asasi orang lain. Masyarakat umum, apalagi didaerah pedesaan yang tidak mempunyai akses yang cukup terhadap informasi dan pengetahuan tentang HIV/AIDS tentu saja merasa perlu melindungi diri mereka sesuai dengan apa yang mereka ketahui tentang penyebaran sebuah penyakit menular yang bukan HIV/AIDS. Sama seperti pemerintah atau institusi  lain yang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup terhadap penyakit itu, sehingga tindakan yang dimaksudkan untuk melindungi hak orang lain ternyata harus mengorbankan hak orang lain.
Dalam Strategi Nasional Penanggulangan AIDS Indonesia, terdapat prinsip dasar bahwa setiap kebijakan program pelayanan kegiata harus tetap menghormati harkat dan martabat dari penderita AIDS atau pengidap HIV dan keluarganya, artinya sebagai suatu rumusan, kita sudah cukup maju didalam perumusan kebijakan dan strategi penanggulangan AIDS.
            Secara khusus pekerja seks komersial terlibat dalam kegiatan resiko tinggi terhadap penginfeksian HIV dan sangat rentan terhadap perlakuan sewenang-wenang dan penindasan. Dari semenjak mula kasus-kasus HIV/AIDS di Indonesia, berbagai lembaga penelitian memilih mereka sebagai sasaran penelitian dan tes darah HIV. Tes darah yang dilakukan menunjukkan adanya sebuah asumsi yang menimbulkan permasalahan dikalangan masyarakat luas yaitu bahwa pekerja seks atau pelacur merupakan sumber penyebaran pewabahan ini.
            Kita mengetahui bahwa pelacuran merupakan kegiatan yang dianggap melanggar hukum. Namun sejauh ini pemerintah tidak secara jelas melakukan pelarangan, bahkan cenderung menutup mata terhadap munculnya daerah-daerah pelacuran. Dengan situasi ilegal ini, pelacuran menjadi daerah yang menjadi ajang penindasan dan pemerasan, dan perlakuan kekerasan tanpa perlindungan sama sekali, apalagi dengan jumlah peredaran uang yang berkaitan dengan kegiatan ini sangat tinggi. Padahal dengan melakukan kegiatan ini tidak berarti hak-hak mendasar dan hak-hak fundamental mereka menjadi hilang. Hak-hak mereka sebagai manusia biasa, misalnya untuk memperoleh peradilan yang jujur, untuk diperlakukan adil dan tidak diperas, serta hak-hak yang berkaitan dengan keberadaan mereka. Namun hak ini tidak bisa mereka nikmati karena mereka tidak terlindung sama sekali.
            Secara umum bisa dikatakan bahwa justru mereka yang kedudukannya sangat lemah yang justru sangat memerlukan bantuan hukum. Tetapi hingga saat ini, tidak ada sebuah LSM yang bergerak dibidang hukum atau perempuan secara husus menaruh perhatian kepada mereka. Mungkin karena prioritas yang ada, dimana banyak lembaga-lembaga yang memusatkan perhatian kepada masyarakat dikalangan menengah.

PERLINDUNGAN TERHADAP PENDERITA PENYAKIT MENTAL
Deklarasi universal Hak-hak Asasi Manusia, telah memberikan inspirasi bagi diadakannya perjanjian-perjanjian internasional dan dokumen regional hak-hak asasi manusia. Dalam semangat inilah sejumlah pakar dan aktivis hak-hak asasi manusia dan juga beberapa delegasi pada badan-badan PBB yang berkompeten mengemukakan masalah perlindungan kebebasan-kebebasan dasar, hak-hak asasi dan hak-hak hukum dari orang-orang yang dinyatakan dokter ”sakit mental” atau menderita “kekacauan mental”.
Semakin lama semakin jelas bahwa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan kerap justru menimbulkan ekses-ekses dan pengaruh merugikan bahkan dalam beberapa kasus merupakan ancaman bagi integritas fisik dan mental manusia. Akibatnya dalam kasus-kasus seperti itu individu memerlukan sekali perlindungan masyarakat yang efektif, misalnya : dilindungi dari penyalahgunaan kemajuan teknologi dan ilmu kedokteran modern yang tidak sesuai dengan terapi kedokteran yang biasa atau tidak sejalan dengan hak-hak asasi manusia.
Media massa  internasional sering kali menarik perhatian opini dunia kepada kenyataan bahwa ada orang-orang yang telah dilucuti kebebasan mereka, dimasukkan dan ditahan secara paksa dalam lembaga-lembaga penyakit jiwa, penyalahgunaan psikatri secara menyeramkan , merawat secara kejiwaan dengan cara yang salah, dan penyiksaan dengan menggunakan obat-obat dalam bentuk yang berlawanan dengan etika kedokteran dan melanggar dokumen hak-hak asasi manusia yang relevan.
Karena alasan-alasan ini, maka hukum dan praktek yang berkenan dengan hal-hal seperti itu, misalnya prosedur untuk menentukan apakah terdapat cukup alasan menahan orang sebagai berpenyakit jiwa atau menderita kelainan mental dan juga mengenai hak-hak asasi mereka untuk memperoleh perlakuan manusiawi dan medis yang tepat, telah lama merupakan pokok permasalahan yang diperdebatkan, dikritik dan diteliti. Antara lain diajukan pendapat bahwa dimasukkannya orang secara tidak sukarela dan ditahan dalam rumah sakit jiwa tidak dapat dibenarkan dan harus dihapuskan. Pemerkosaan hak  dengan jalan memasukkan dan menahan orang secara tidak sukarela kedalam rumah sakit jiwa telah terjadi di beberapa penjuru dunia, terutama terhadap orang-orang yang mempertahankan kebebasan-kebebasan fundamentalnya dan melakukan hak-hak asasi manusia mereka.
 Pengobatan kejiwaan yang salah ini dilihat sebagai penyalahgunaan yang jahat dari teknologi ilmiah dan kedokteran. Obat-obat digunakan untuk menyiksa orang-orang yang didiagnosis sebagai orang yang berpenyakit jiwa. Tingginya tingkat keresahan sosial, seperti kecanduan narkotik, alkoholisme, pemerasan tenaga anak-anak, kekerasan dan penyelewengan, dalam kasus-kasus tertentu adalah behubungan dengan adanya jenis-jenis penyakit jiwa tertentu.
Komisi hak-hak asasi manusia mempersiapkan sebuah laporan tentang masalah itu, dengan tujuan merumuskan pedoman tentang tindakan pengobatan yang dapat digunakan dengan benar dalam mengobati orang-orang yang ditahan karena kesehatan mentalnya, dan prosedur untuk menentukan apakah ada alasan yang cukup untuk menahan orang-orang seperti itu dan menggunakan tindakan-tindakan pengobatan yang demikian itu.
Dan pada akhirnya komisi hak-hak asasi manusia mampu mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk melindungi hak orang yang ditahan berdasarkan kesehatan jiwa yang sakit, atau menderita gangguan mental.
Dewasa ini martabat dan nilai manusia bukanlah hanya suatu konsep filsafat. Ia merupakan suatu prinsip kerja dan memperlakukan manusia yang membimbing kita dalam kehidupan sehari-hari. Setiap manusia tanpa perbedaan dalam hak-hak asasinya dan kebebasan fundamentalnya. Dimana yang menjadi prinsip utamanya adalah kata-kata yang tercantum pada alinea pembukaan Deklarasi Universal Hak-hak asasi manusia.”Pengakuan atas martabat alamiah dan hak yang sama dan tidak dapat dihilangkan dari semua anggota masyarakat manusia adalah dasar dari kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia.
WAWASAN INDONESIA TENTANG SUBSTANSI DAN PENEGAKAN HAM
Hukum dasar tertulis adalah Undang-Undang Dasar 1945, yang terdiri dari pembukaan, Batang Tubuh, dan penjelasan. Sedangkan Hukum Dasar Tidak tertulis adalah kaidah-kaidah dasar yang melengkapi hukum Dasar Tertulis, yang timbul dalam praktek penyelenggaraan negara. Pada Hukum Dasar tertulis, dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum kaidah-kaidah HAM yang bersifat filsafati, seperti bahwa kemerdakaan itu adalah hak semua bangsa yang berdasar pada peri kemanusiaan dan peri keadilan; bahwa negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat, yang selanjutnya berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam permusyarawatan/Perwakilan; dan bahwa tujuan negara Republik Indonesi adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan Umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkanKemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Hak dan kewajiban warga negara diatur secara khusus dalam pasal-pasal dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Adapun pasal-pasal yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi warga negara adalah:
(1)     Pasal 27 ayat 1, segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya dalam hukum dan pemerintah dan wajib menjungjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(2)     Pasal 27 ayat  2, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi manusia.
(3)     Pasal 28, kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran, dengan lisan atau lisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
(4)     Pasal 29 ayat  2, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat.
(5)     Pasal 30 ayat 1, tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.
(6)     Pasal 31 ayat 1, tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
(7)     Pasal 33 ayat 1, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.
(8)     Pasal 33 ayat 2, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(9)     Pasal 33 ayat 3, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
(10) Pasal 34, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
Pada tanggal 10 Desember 1995, dalam rangka peringatan 50 Tahun Indonesia merdeka dan bertepatan dengan hari ulang tahun the Universal Declaration of Human Rights, bekrjasama dengan Universitas Diponegoro di Semarang, Komnas HAM telah menyelanggarakan Seminar Nasional HAM. Seminar tersebut menampilkan dua keynote speakers, yaitu ketua Human Rights Commite PBB, Tan Sri Datuk Musa Hitam dan Menteri Negara Sekretaris Negara, Drs. Moerdiono, menghasilkan beberapa kesimpulan penting antara lain sebagai berikut:
1.    HAM mencakup segala bidang kehidupan manusia dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
2.    Pembangunan dan Demokrasi saling berkait dan saling bergantung satu sama lain.
3.    Indonesia tidak lagi merupakan tradisional, tetapi telah berkembang menjadi masyarakat modern melalui proses pendidikan. HAM tidak bertentangan dengan kebudayaan Indonesia dan dapat menjadi sarana untuk menerjemahkan kepedulian sosial dan kondisi negara modern.
4.    HAM telah menjadi etika politik modern dan dengan demikian menjadi moral pemerintahan.
5.    HAM merupakan pengejawantahan seluruh Sila Pancasila dan bahkan dapat dipahami sebagai operasionalisasi Pancasila.
6.    Masih diperlukan dialog kolektif untuk menyamakan persepsi bangsa kita mengenai HAM
7.    Pemajuan dan peningkatan HAM akan berjalan dengan efektif dalam rangka kerjasama antar bangsa dengan basic-guide-nya Deklarasi Umum HAM PBB.
8.    Pembangunan ekonomi sesungguhnya bertujuan memenuhi hak-hak ekonomi dari setiap orang dengan prinsip persamaan.
9.    Meningkatnya kasus-kasus tanah mennunjukkan rentannya perlindungan terhadap hak atas tanah, khususnya bagi masyarakat lemah. Khusus mengenai hak ulayat, yang bukan semata-mata menyangkut hak ekonomi tetapi juga menyangkut eksistensi masyarakat adat, jaminan yang telah dibuat dalam UUPA atas hak ulayat harus menjadi acuan dalam merumuskan kebijakan ekonomi.
10.              Pemajuan dan perlindungan hak-hak buruh atau pekerja lebih mendapat perhatian dan perbaikan pada kondisi perburuhan, termasuk perbaikan hak sipil dan politik. Yang akan memberikan peluang bagi pemenuhan hak-hak ekonomi buruh.
11.              Kedudukan dan peran Komnas HAM perlu lebih diperkuat tanpa harus menjadi super-body dengan terus mengembangkan asas-asas kerja yang faktual, persuasif, mandiri, obyektif dan adil, serta kemitraan.
12.              Konsep HAM sesungguhnya bukan merupakan konsep yang baru di Indonesia, oleh karena penghormatan terhadap hak dan martabat manusia sudah terkandung dalam ajaran agama dan budaya rakyat Indonesia sejak dahulu kala.
13.              Dialog harus tetap dibuka, baik pada aras nasional maupun internasional, untuk menentukan keseimbangan antara hak individu dan hak kolektif, antara nilai yang universal dengan yang partikular, untuk memenuhi tuntutan hidup yang terus berubah.
14.              Pembangunan hukum nasional merupakan bagian yang penting dalam usaha menegakkan dan melindungi HAM.
15.              Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, kita merasa berdaulat dan bermartabat untuk melakukan harmonisasi instrumen HAM internasional dengan perundang-undangan nasional.
MASALAH HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
Setelah Indonesia merdeka masalah Hak Asasi Manusia  dicantumkan dengan tegas pada Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, baik dalam pembukaan UUD 1945 pada pasal-pasalnya. Kemerdekaan adalah hak bangsa, karena sesuai dengan rasa keadilan dan rasa perikemanusiaan. Hak asasi Manusia dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban warga negara.
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (INDONESIA)
Lembaga komnas HAM adalah lembaga mandiri, bukan badan pemerintah. Pemerintah memberikan subsidi atau bantuan untuk mendukung kegiatan operasional lembaga tersebut walaupun demikian ia tidak tergantung pada pemerintah. Subsidi pemerintah ini tidak akan mempengaruhi kegiatannya. Baik pemerintah maupun komnas HAM saling percaya antara satu sama lain, tidak akan ada prasangka atau kecurigaan. Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia di bentuk pada tahun 1993 yang diketuai Ali Said, S. H. Dengan anggota 25 orang. Sebagai lembaga yang mandiri masyarakat mengharapkan agar Komnas HAM benar-benar menemukan identitasnya sebagai lembaga yang benar-benar bebas dari pengaruh luar, tidak ada pengaruh dari pihak mana pun juga. Masyarakat benar-benar mengaharapkan lembaga ini menunjukkan kemandirian dirinya. Kehadiran lembaga ini dapat perhatian dari pelbagai kalangan yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, seperti misalnya kalangan buruh, tani, mahasiswa, rakyat biasa, dan bahkan kalangan ormas dan orpol, serta kalangan di dalam dan di luar negeri. Tugas-tugas yang diemban oleh Komnas HAM membutuhkan keahlian, profesional dan memiliki seni tersendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Bahar Saatroedin, 1996. Hak Asasi Manusia, Analisis dan Jajaran Hankam ABRI. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Davies Peter, 1994. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hoas Robert, 1998. Hak-hak Asasi Manusia dan Media. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Maxwell. C. John, 1987. Hak Untuk Memimpin. Medan: Mitra Media.
Siyaranamual. R. Julius, 1997. Etika Hak Asasi, dan Pewabahan AIDS. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Widjaja. H. A. H, 2000. Penerapan Nilai-nilai Pancasila dan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
 Ditulis Sejak kuliah di STAKPN Tarutung

Eskatologi



BAB I
PENDAHULUAN
   “Kita hidup dengan iman, bukannya dengan penglihatan” hal ini terang sekali, kalau kita memikirkan eskatologi.
Eskatologi adalah bagian dogmatika, yang membicarakan pernyataan Kitab Suci tentang hal-hal yang terjadi sesudah orang meninggal dan hal-hal yang akan terjadi pada zaman yang terakhir (ta eschata= hal-hal yang terakhir). Hal-hal yang mahapenting yang harus diperhatikan sungguh-sungguh dalam memikirkan eskatologi ialah, bahwa cara berfikir kita harus selalu teosentris. Terutama kita disini diancam bahaya karena keinginan untuk mengetahui akan hal-hal yang berhubungan dengan nasib kita sesudah mati. Pernyataan-pernyataan yang banyak timbul hanya menampakkan keinginan ini dengan jelas sekali bukan teosentris melainkan egosentris. Umpamanya: apakah saya akan mengenal orang-orang yang saya cintai sekarang? Kalau tidak menjumpai mereka apakah kebahagiaan dapat menjadi sempurna?
Hal yang kedua harus diingat ialah, bahwa “keinginan mengetahui” tadi juga menimbulkan keinginan untuk memperhitungkan, oleh karena kita ingin tahu kapankah Tuhan Yesus datang kembali.
Padahal kitab suci tidak memberi bahan-bahan perhitungan. Hanya kepastian dari hal-hal yang dinyatakanlah yang harus kita pegang. Kitab suci tidak boleh menjadi pendorong dalam perhitungan waktu, tetapi harus menjadi pendorong untuk berjaga.







BAB II
ESKATOLOGI (AKHIR ZAMAN)
   Dalam Luk. 1:54,55 Maria mengucapkan keyakinannya, bahwa dengan akan dilahirkannya Kristus itu Tuhan Allah berkenan menolong Israel dengan mengingat rahmatNya seperti yang telah dijanjikan kepada nenek moyang Israel (bnd. Luk. 1:68,69,70-79; dll). Kata-kata ini menunjukkan, bahwa kedatangan Kristus adalah pemenuhan janji Allah yang telah dijanjikan kepada Abraham dan kepada keturunannya. Apa yang pada zaman-zaman dahulu menjadi rahasia, sekarang dengan kedatangan Kristus telah diberitahukan kepad umum. Apa yang dahulu masih gelap, sekarang dengan kedatangan Kristus telah menjadi terang. Oleh karena itu zaman-zaman yang dahulu itu berbeda sekali sifat dan keadaannya jikalau dibandingkan dengan zaman setelah Kristus dilahirkan.
Zaman sejak Kristus dilahirkan, zaman kristus atau zaman Mesias ini, adalah zaman keselamatan, zaman yang didalam urutan-urutan segala zaman atau di dalam urutan-urutan sejarah manusia mewujudkan zaman yang berbeda sendiri, yang memiliki ciri tersendiri, yang menentukan zaman-zaman yang mendahuluinya. Zaman taurat dan zaman para nabi  diakhiri hingga zaman  Yohanes Pembabtis. Sesudah itu dimulailah zaman baru (Mat 11:13; Luk 16:16).
Zaman Mesias ini disebut: penyelesaian zaman (synteleia toon aioonoon, Ibr 9:26), akhir masa (eskhaton toon khronoon, I Pet 1:20), saat terakhir (eskhate hoora, I Yoh 2:18),akhir zaman (tele toon aioonoon, I Kor 10:11).
Menurut Alkitab keselamatan pada zaman akhir ini memiliki dua segi, yaitu bahwa pada akhir ini telah ada keselamatan, akan tetapi di lain pihak dikatakan juga bahwa keselamatan masih di depan kita atau belum ada. Artinya: keselamatan dengan segala hubungannya, yang hingga sekarang telah diberikan oleh Tuhan Allah kepada orang beriman. Oleh karena itu zaman sekarang ini, atau zaman akhir ini, disebut dimana “kita hidup karena percaya” (II Kor 5:7). Orang beriman masih hidup dalam pengharapan akan menerima kesempurnaan keselamatannya (Rm 5:2).
Akhir zaman bersamaan dengan kedatangan Kristus  yang kedua kali, digambarkan sebagai puncak segala sesuatu, sebagai tindakan Tuhan Allah yang baru, yang dilaksanakan dengan kuat kuasaNya. Jadi akhir zaman bagi Alkitab bukan hal yang penting, yang hanya berfungsi sebagai penutupan segala kejadian yang biasa saja, bukan. Akhir zaman adalah musim penuaian untuk memisahkan yang baik dan yang jahat (Mat 13:39,40,49; 23:3; 28:20), atau kegenapan waktu untuk mempersatukan segala sesuatu di dalam Kristus sebagai kepala, baik yang disorga maupun yang di bumi (Ef 1:10).
Oleh karena itu maka dalam 1 dan 2 Tes. Dan dalam 1 Kor 15 mata harapan orang beriman harus diarahkan kepada akhir zaman. Disitulah kemah tempat kediaman kita di bumi  akan di bongkar dan diganti dengan tempat kediaman di sorga, sutu tempat kediaman yang kekal (I Kor 5:1), atau di situlah tubuh alamiah kita akan dibangkitkan menjadi tubuh rohaniah (I Kor 15:44), atau di situlah tubuh kita yang hina akan diubah hingga serupa dengan Tubuh Kristus yang mulia (Flp 3:21), dll.

Keadaan orang sudah ia meninggal dan sebelum kedatangan Tuhan Yesus kembali.
Dalam PL kita menjumpai kata sye-ul. Sye-ul menurut pandangan PL adalah tempat yang ada di bawah dunia ini (Ul 32:22; Yes 14:9). Ke sanalah perginya orang mati (Mzm 89:49), di sana tidak ada lagi suatu perbuatan (Pkh 9:10), di sana Tuhan tidak dipermuliakan (Yes 38:18; Mzm 6:6). Sye-ul bukan tempat kebahagiaan, malahan tempat yang menjauhkna dari kebahagiaan yang dicita-citakan pada orang saleh. Sye-ul tidak tepat kalau diterjemahkan dengan neraka, akan tetapi terjemahan lebih tepat ialah dengan dunia maut, alam maut, kekuasaan maut.
Pengharapan dalam perjanjian lama adalah kebahagiaan sesudah mati. Kebahagiaan ini tempatnya dekat tahta Tuhan saja, di hadapan Tuhan juga kepad tempat dekat dengan Tuhan, di mana ia dapat melihat wajah Tuhan dan menjadi puas dengan rupa Tuhan (Mzm 17). Dan hamba Tuhan dalam PL percaya, bahwa Tuhan akan mengangkatnya ke dalam kemuliaan sesudah ia mati (Mzm 73:24; 49:16). Pengharapan dan kepercayaan ini juga diungkapkan oleh Ayub (19:25-27) dan Yesaya (29:19)
Dalam PB hades adalah tempat kemana segala orang datang sesudah mati, baik yang  namanya tertulis di dalam kitab kehidupan, maupun yang tidak. (Why 20:15). Oleh karena itu hades juga bukan neraka melainkan alam maut.
Ada dua kemungkinan bagi orang sesudah mati: ke Firdaus atau ke Neraka perginya. Nama “Firdaus” dipakai dalam Lukas 23:43 oleh Tuhan Yesus Sendiri dan kemudian kita baca dalam 2 Korintus 12:4 dan Wahyu 2:7 “Firdaus” adalah sama dengan “sorga”.
Bagi “neraka” dalam Perjanjian Baru terdapat kata-kata phulake (1 Pet 3:19), abussos (Rm 10:7), dan ge-enna (Mark 9:43) dan juga rangkaian kata-kata: “lautan api yang bernyala oleh belerang” (Why 19:20) dan “kegelapan yang paling dahsyat” (2 Pet 2:17). Di sinilah tempat penderitaan hukuman yang kekal.
Asal-usul dan perkembangan angka 666 dalam sejarah
Dalam sistem ibadah mereka, mereka memiliki 37 dewa-dewi utama, dan salah satunya, yaitu Dewa Matahari, adalah yang terutama di antara semuanya. Orang-orang Babel percaya angka-angka mengandung kekuatan atas dewa-dewi yang mereka sembah. Dalam sistem ibadah mereka, mereka memiliki 37 dewa-dewi utama, dan salah satunya, yaitu Dewa Matahari, adalah yang terutama di antara semuanya. Orang-orang Babel percaya angka-angka mengandung kekuatan atas dewa-dewi yang mereka sembah.
Tentu saja, mereka harus menciptakan angka-angka yang dapat mereka pakai untuk mengidentifikasi dewa-dewi itu supaya mereka dapat menguasai dewa-dewi itu. Untuk melakukan ini, mereka menghitung dewa-dewi mereka dan mengkaitkan sebuah angka pada masing-masing ke-36 dewa-dewi yang lebih rendah derajatnya dari Dewa Matahari, lalu menjumlahkan semua angka-angka ini (dari 1 hingga 36) dan memberikan angka hasil penjumlahan itu kepada Dewa Matahari (dewa yang ke-37).
Dewa pertama yang mereka identifikasi diberi nomor 1, dewa kedua diberi nomor 2, seterusnya sampai 36. Mereka menghitungnya seperti ini:
   1 + 2 + 3 + 4 + 5 + 6 + 7 + 8 + 9 + 10 + 11 + 12 + 13 + 14 + 15 + 16 + 17 + 18 + 19 + 20 + 21 + 22 + 23 + 24 + 25 + 26 + 27 + 28 + 29 + 30 + 31 + 32 + 33 + 34 + 35 + 36 = 666 (Dewa Matahari, dewa ke-37)
 Jadi, angka 666 muncul di dunia ini karena praktik ibadah penyembahan dewa dan astrologi bangsa Babel kuno.
Ditulis sejak kuliah di STAKPN Tarutung