Rabu, 18 Januari 2017

Hukum dan Kasih dalam Perjanjian Lama



NAMA                 : NICOLAUS SIHOTANG 
NIM                      : 10.04.11.4654
M.K                      : TEOLOGI PL-II
D.M.K                  : HEROWATI SITORUS, M.TH
GROUP               : B
DOSEN PA          : DRS. RISDEN ANAKAMPUN, M.Pd.K
JUMLAH KATA            : 1430 KATA.


BAB I
PENDAHULUAN

Perintah-perintah Allah bukanlah seperti komando-komando seorang perwira yang harus dituruti tanpa bersyarat dan tanpa berpikir, sekalipun prajurit-prajurit tidak mengerti maksud perintah itu. Perintah Allah adalah berdasarkan perbuatan-perbuatan yang bersifat anugerah (Kasih Karunia), oleh kelepasan yang dikerjakan Allah, maka sepenuhnya ia berhak atas hidup manusia. Bila seseorang telah menyelamatkan kita dari kematian, bukankah untuk selanjutnya kita akan merasa diri sedemikian erat terikat kepadanya, hingga takkan pernah kita ingin menjauhkan diri dari padanya? Demikianlah ketaatan kepada perintah-perintah Allah harus membuktikan, bahwa kita tahu bersyukur hati, oleh sebab itu Ia telah melepaskan kita dari perbudakan yang mendatangkan kematian dan kebinasaan.[1]
Hukum Taurat dapat disimpulkan dalam satu kalimat yaitu “ didalam Hukum Taurat-Nya, Allah menuntut Kasih: Kasih itu adalah kegenapan hukum taurat”. Allah menuntut apa yang diberikan-Nya, yakni Kasih. Bukan yang lainnya. Tidak lebih dari itu dan tidak kurang dari itu, Allah memberikan semuanya, “diriNya sendiri”. Allah menuntut semuanya, diri kita sendiri, “itulah perintah”. Perintah itu banyak, tetapi semua perintah yang mempunyai hubungan dengan perintah-kasih. Peintah-perintah itu dalam perjanjian lama dirumuskan dalam kitab Ulangan 6: 4-5.[2]
Semu hukum itu dinyatakan pada waktu pembentukan perjanjian Allah di Gunung Sinai, dan semuanya disampaikan dengan perantaraan Musa. Semuanya berwibawa sebagai penyataan atau firman Allah sendiri; semuanya diberi serentak dan berlaku tetap selama-lamanya; semuanya menyatakan kasih dan berkat yang dilimpahkan Allah, dan semuanya bertujuan untuk menciptakan memelihara, serta memperbaharui umat-Nya sendiri, yakni Israel.[3]
Dari penjelasan-penjelasan diatas, timbul pertanyaan kepada kita “bagaimana sebenarnya hukuman dan kasih Allah dalam perjanjian lama? Lalu bagaimana dengan hukum dan kasih dalam kehidupan sekarang ini? Semua pertanyaan ini akan dijawab dalam pembahasan berikut.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hukum dalam Perjanjian Lama.
1.      Pengertian hukum Menurut Perjanjian Lama.
Istilah yang sering dipakai untuk undang-undang dalam Perjanjian Lama adalah “Taurat” berasal dari bahasa Ibrani yaitu “Tora”. Istilah tersebut pertama-tama berarti petunjuk nyata dalam situasi tertentu. Artinya, Tora dapat diperoleh dari Allah melaui seorang imam atau nabi, tetapi dapat juga diperoleh dari orangtua yang bijaksana. Kitab Kejadian sampai Ulangan disusun sebagai inti Kitab suci orang Israel. Kelima kitab itu penuh wibawa, jauh melebihi kumpulan kitab yang lain (sama seperti kitab injil-bagi sebagian orang Kristen-lebih penting daripada kitab atau surat lainnya). Akhirnya seluruh kitab suci orang Israel disebut Taurat. Perkembangan tersebut  menunjukkan bahwa Taurat bukan suatu kitab undang-undang yang beku, melainkan suatubpetunjuk hidup yang dinamis dan perlu direnungkan dan ditafsirkan ulang dalam setiap situasi baru.
Kumpulan undang-undang yang pertama dan terkemuka menurut Ulangan 4:33 dan 5: 4-22 Tuhan sendiri yang memberitahukan kepada seluruh umat-adalah kesepuluh Firman atau Dekalog yang terdapat baik dalam Keluaran 20: 2-17 maupun dalam Ulangan 5: 6-21.[4]
Dari penjelasan tersebut, pengertian hukum adalah suatu petunjuk hidup yang diperoleh dari Allah melalui seorang imam atau nabi.
2.      Allah memberikan hukum-hukumNya.
Undang-undang yang diberikan Allah merupakan pokok dari perjanjian yang telah diikat-Nya.
a.       Undang-undang itu terkait dengan cerita-cerita tentang tindakan Allah yang mengangkat Israel menjadi umat-Nya.
b.      Undang-undang tersebut diberikan diberbagai-bagai nama, berbicara dalam berbagai situasi dan terkumpul dalam berbagai-bagai “kitab hukum”.
c.       Namun, semua undang-undang itu berwibawa sebagai ungkapan kehendak Allah yang diberitahukan kepada umatNya dengan perantaraan Musa.[5]

3.      Tujuan dan wibawa undang-undang yang diberikan Tuhan.
Melalui undang-undang perjanjian, Tuhan mengatur hidup umatNya dan mengarahkan jalan setiap anggotanya.
a.       Kesepuluh firman merupakan pedoman dasar; tetapi semua undang-undang bertujuan dan berwibawa.
b.      Menguduskan.
c.       Membebaskan dan mempersatukan umat Allah.[6]
Tujuan pemberian Taurat tidak lain adalah supaya bangsa Israel bahagia dan sejahtera. Maka, Yosua dinasehati untuk berani melakukan Turat, bukan berani membinasakan musuh. Kunci kemenangan atas musuh terletak pada ketaatan pada Taurat (Yos. 1: 7-8). Dan Taurat mengatur bagaimana Israel sebagai bangsa atau perorangan hidup berkenan kepada Tuhan.[7]
Tujuan dari hukum yang diberikan Tuhan kepada bangsa Israel bukanlah hukuman yang kejam, tetapi Allah memberikan hukuman agar bangsa Israel hidup dalam ketaatan kepada Tuhan agar mereka dalam kebahagiaan dan kesejahteraan.
Allah memberikan hukum taurat secara tegas dan konkrit, dengan maksud bahwa orang Isarel harus menyembah Yahweh dengan segenap hati dan dengan segenap kekuatan (Ulangan 6:5). Hukum Allah menunjukkan jalan untuk melayani Allah karena mengucapkan syukur. Hukum Allah juga memuat janji orang percaya akan menjadi demikian: ia akan mengasihi Allah dan sesama manusia.[8]
4.      Sifat-sifat hukum Taurat.
Sifat-sifat hukum Taurat ialah: bonitos (kebaikan), perfectio (kesempurnaan), immutabilitas (tak dapat berubah) dan spritualitas (kerohanian). Sifat-sifat ini bukanlah hasil pikiran otak manusia belaka. Alkitab pun menyebutkan sifat-sifat itu.
Yang disebut kebaikan hukum Taurat ialah, yang dipuja-puja didalam Mazmur. Yang disebut kesempurnaan hukum Taurat ialah, bahwa hukum Taurat mencerminkan tuntutan Tuhan yang penuh kasih dan hak-hakNya yang kudus. Yang disebut kerohanian hukum Taurat adalah bahwa saat hukum Taurat itu telah kita taati dengan hati, roh, dan segenap kekuatan kita akan menuntun kita dengan segenap hati kita untuk mencari persekutuan dengan Roh Allah.[9]
Dari semua penjelasan tentang hukum Allah dalam perjanjian lama adalah bentuk tindakan kasih Allah kepada bangsa Israel dengan tujuan agar bangsa Israel patuh dan taat kepada Allah. Allah memberikan hukumNya bukan karena Allah ingin membinasakan umat, tetapi agar bangsa melakukan kehendak Tuhan untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan.
B.     Kasih dalam Perjanjian Lama.
1.      Pengertian kasih dalam Perjanjian Lama.
Kasih adalah terjemahan kata Ibrani “ahev”, merupakan kata umum dengan beragam makna sesuai kadarnya. Kata Ibrani lainnya adalah “dod” dan “raya”. Kasih dalam PL adalah ungkapan yang paling dalam dari kepribadian sekaligus hubungan pribadi yang paling akrab dan dekat. Pada dasarnya merupakan kekuatan dari dalam yang mendorong untuk melakukan suatu tindakan yang mendatangkan kegembiraan untuk melakukan pengorbanan diri demi kebaikan orang yang dikasihi dan ketaatan yang tulus (1 Samuel 20: 17-42).[10]
Dari penjelasan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa kasih adalah tindakan yang dilakukan untuk kebaikan orang yang dikasihi.
2.      Sifat kasih Allah
1.      Bersifat objektif yaitu objek kasih terutama adalah kelompok kolektif (Ul. 4:37), nenek moyang (Amsal 8:17) yang mengasihi aku (Yesaya 43: 4).
2.      Bersifat pribadi. Berakar kuat pada diri Allah sendiri. Kasih itu lebih dari kasih seorang itub kepada anak-anaknya (Yesaya 49: 15). Kasih Allah adalah bagian dari kepribadianNya dan tak dapat diguncang murkaNya. Hosea 11: 1-4, 7-9, adalah bagian PL yang paling dekat pada deklrasi bahwa Allah adalah kasih.
3.      Bersifat selektif. Kitab Ulangan mendasari hubungan perjanjian antara Israel dan Allah pada kasih Allah yang terdahulu. Yahweh mengambil prakarsa dan memilih bangsa Israel karena Ia mengasihi mereka (Ul. 4: 37). kasih ini spontan.[11]

C.    Relevansi
Hukum dan Kasih dalam Perjanjian Lama khususnya kasih Allah yang nyata dalam kitab Ulangan sangat kaya. Kitab Ulangan meningatkan dan menyenangkan masa yang lampau. Tindakan-tindakan Allah menyatakan dan mewujudkan kasih-Nya yang Cuma-Cuma. Tanpa dasar TRuhan memilih bangsa Israel menjadi umat pilihanNya dan melimpahkan anugerahNya. Tidak pernah Tuhan meninggalkan atau melupakan umat-Nya, meskipun umat itu sering berontak (7:6) dan meskipun Tuhan menghukum mereka, tetapi kasih Allah tetap nyata dalam kehidupan bangsa Israel.
Dalam kehidupan sekarang banyak jemaat Allah yang tidak lagi takut terhadap hukum dan ketetapan  perintah Allah karena menganggap bahwa manusia sudah bebas dari segala hukuman dan dosa oleh pengorbanan Yesus. Manusia menganggap bahwa dengan kematian Yesus, manusia bebas melakukan apapun sesuaia kehendaknya karena merasa hukum dan ketetapan Allah dalam Perjanjian Lama tidak berlaku lagi. Dan ini adalah pandangan yang salah. Allah tidak pernah mengubah hukum Taurat-Nya, dan Yesus pun tetap mengingatkan orang Farisi bahwa hukum yang terutama adalah dan yang pertama adalah mengasihi Tuhan Allah dan mengasihi sesama manusia. Mengasihi Allah berarti melakssanakan hukum Taurat yang  pertama sampai keempat. Dan mengasihi sesama adalah melaksanakan hukum Turat yang kelima sampai kesepuluh.[12]Dan ini adalah ayat emas yang selalu dibacakan setiap minggu digereja saat membacakan hukum Taurat (Titah), dan inilah yang menjadi cirri khas Kristen yaitu mengasihi.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukuman yang diberikan Allah kepada bangsa Israel bukanlah hukuman kebencian, tetapi hukuman yang penuh kasih, yang bertujuan untuk mengatur hidup umat-Nya dan mengarahkan jalan kepada setiap umat-Nya agar umat-Nya hidup kudus dan bersatu dengan Allah sehingga umat hidup dalam kebahagiaan dan kesejahteraan.

















DAFTAR PUSTAKA
Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta: LAI, 2006
Barth, Christoph dkk. Teologi Perjanjian Lama I, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini: Jilid I A-I, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OFM, 1992
Karman, Yonky. Bunga Rampai: Teologi Perjanjian Lama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005
Lasor. W.S. dkk, Pengantar Perjanjian Lama I: Taurat dan Sejarah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001
Niftrik, Van G. C dan Bolan J. B. Dogmatika Masa Kini, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010
OFM, Groenen C. Pengantar Kedalam Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisius, 1995
Soedarmo, R. Kamus Istilah Teologi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994
Verkuyl, J. Etika Kristen; Jilid I bagian umum, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982




[1] Dr. G. C. Van Niftrik dan Dr. B. J. Boland. Dogmatika Masa Kini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010) hal 412
[2] Prof. Dr. J. Verkuyl. Etika Kristen, Jilid I bagian umum, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982) hal 142
[3] Dr. Christoph Barth dkk. Teologi Perjanjian Lama I, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012) hal 310
[4] Ibid, hal 306-307
[5] Ibid, hal 304
[6] Ibid, hal 320
[7] Yonky Karman. Bunga Rampai: Teologi Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005) hal 88.
[8] Dr. R. Soedarmo. Kamus Istilah Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994) hal 35.
[9] Prof. Dr. J. Verkuyl. Etika Kristen, Jilid I Bagian umum, (Jakarta BPK Gunung Mulia, 1982) hal 98-99.
[10] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini: Jilid I A-I, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1992) hal 524.
[11] Dr. C. Groenen OFM. Pengantar Kedalam Perjanjian Lama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995) hal 131
[12] W. S. Lasor dkk. Pengantar Perjanjian Lama I; Taurat dan Sejarah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001) hal 224

Tidak ada komentar:

Posting Komentar