NAMA : NICOLAUS SIHOTANG
NIM : 10.04.11.4654
M.K : TEOLOGI PL-II
D.M.K : HEROWATI SITORUS, M.TH
GROUP : B
DOSEN
PA : DRS. RISDEN ANAKAMPUN,
M.Pd.K
JUMLAH KATA : 1430 KATA.
BAB
I
PENDAHULUAN
Perintah-perintah Allah bukanlah
seperti komando-komando seorang perwira yang harus dituruti tanpa bersyarat dan
tanpa berpikir, sekalipun prajurit-prajurit tidak mengerti maksud perintah itu.
Perintah Allah adalah berdasarkan perbuatan-perbuatan yang bersifat anugerah
(Kasih Karunia), oleh kelepasan yang dikerjakan Allah, maka sepenuhnya ia
berhak atas hidup manusia. Bila seseorang telah menyelamatkan kita dari
kematian, bukankah untuk selanjutnya kita akan merasa diri sedemikian erat
terikat kepadanya, hingga takkan pernah kita ingin menjauhkan diri dari padanya?
Demikianlah ketaatan kepada perintah-perintah Allah harus membuktikan, bahwa
kita tahu bersyukur hati, oleh sebab itu Ia telah melepaskan kita dari
perbudakan yang mendatangkan kematian dan kebinasaan.[1]
Hukum Taurat dapat disimpulkan
dalam satu kalimat yaitu “ didalam Hukum Taurat-Nya, Allah menuntut Kasih:
Kasih itu adalah kegenapan hukum taurat”. Allah menuntut apa yang
diberikan-Nya, yakni Kasih. Bukan yang lainnya. Tidak lebih dari itu dan tidak
kurang dari itu, Allah memberikan semuanya, “diriNya sendiri”. Allah menuntut
semuanya, diri kita sendiri, “itulah perintah”. Perintah itu banyak, tetapi
semua perintah yang mempunyai hubungan dengan perintah-kasih. Peintah-perintah
itu dalam perjanjian lama dirumuskan dalam kitab Ulangan 6: 4-5.[2]
Semu hukum itu dinyatakan pada
waktu pembentukan perjanjian Allah di Gunung Sinai, dan semuanya disampaikan
dengan perantaraan Musa. Semuanya berwibawa sebagai penyataan atau firman Allah
sendiri; semuanya diberi serentak dan berlaku tetap selama-lamanya; semuanya menyatakan
kasih dan berkat yang dilimpahkan Allah, dan semuanya bertujuan untuk
menciptakan memelihara, serta memperbaharui umat-Nya sendiri, yakni Israel.[3]
Dari penjelasan-penjelasan diatas,
timbul pertanyaan kepada kita “bagaimana sebenarnya hukuman dan kasih Allah
dalam perjanjian lama? Lalu bagaimana dengan hukum dan kasih dalam kehidupan
sekarang ini? Semua pertanyaan ini akan dijawab dalam pembahasan berikut.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hukum
dalam Perjanjian Lama.
1. Pengertian
hukum Menurut Perjanjian Lama.
Istilah yang sering dipakai untuk
undang-undang dalam Perjanjian Lama adalah “Taurat” berasal dari bahasa Ibrani
yaitu “Tora”. Istilah tersebut pertama-tama berarti petunjuk nyata dalam
situasi tertentu. Artinya, Tora dapat diperoleh dari Allah melaui seorang imam
atau nabi, tetapi dapat juga diperoleh dari orangtua yang bijaksana. Kitab
Kejadian sampai Ulangan disusun sebagai inti Kitab suci orang Israel. Kelima
kitab itu penuh wibawa, jauh melebihi kumpulan kitab yang lain (sama seperti
kitab injil-bagi sebagian orang Kristen-lebih penting daripada kitab atau surat
lainnya). Akhirnya seluruh kitab suci orang Israel disebut Taurat. Perkembangan
tersebut menunjukkan bahwa Taurat bukan
suatu kitab undang-undang yang beku, melainkan suatubpetunjuk hidup yang dinamis
dan perlu direnungkan dan ditafsirkan ulang dalam setiap situasi baru.
Kumpulan undang-undang yang pertama
dan terkemuka menurut Ulangan 4:33 dan 5: 4-22 Tuhan sendiri yang
memberitahukan kepada seluruh umat-adalah kesepuluh Firman atau Dekalog yang
terdapat baik dalam Keluaran 20: 2-17 maupun dalam Ulangan 5: 6-21.[4]
Dari penjelasan tersebut,
pengertian hukum adalah suatu petunjuk hidup yang diperoleh dari Allah melalui
seorang imam atau nabi.
2. Allah
memberikan hukum-hukumNya.
Undang-undang yang diberikan Allah
merupakan pokok dari perjanjian yang telah diikat-Nya.
a. Undang-undang
itu terkait dengan cerita-cerita tentang tindakan Allah yang mengangkat Israel
menjadi umat-Nya.
b. Undang-undang
tersebut diberikan diberbagai-bagai nama, berbicara dalam berbagai situasi dan
terkumpul dalam berbagai-bagai “kitab hukum”.
c. Namun,
semua undang-undang itu berwibawa sebagai ungkapan kehendak Allah yang
diberitahukan kepada umatNya dengan perantaraan Musa.[5]
3. Tujuan
dan wibawa undang-undang yang diberikan Tuhan.
Melalui undang-undang perjanjian,
Tuhan mengatur hidup umatNya dan mengarahkan jalan setiap anggotanya.
a. Kesepuluh
firman merupakan pedoman dasar; tetapi semua undang-undang bertujuan dan
berwibawa.
b. Menguduskan.
c. Membebaskan
dan mempersatukan umat Allah.[6]
Tujuan pemberian Taurat tidak lain
adalah supaya bangsa Israel bahagia dan sejahtera. Maka, Yosua dinasehati untuk
berani melakukan Turat, bukan berani membinasakan musuh. Kunci kemenangan atas
musuh terletak pada ketaatan pada Taurat (Yos. 1: 7-8). Dan Taurat mengatur
bagaimana Israel sebagai bangsa atau perorangan hidup berkenan kepada Tuhan.[7]
Tujuan dari hukum yang diberikan Tuhan
kepada bangsa Israel bukanlah hukuman yang kejam, tetapi Allah memberikan
hukuman agar bangsa Israel hidup dalam ketaatan kepada Tuhan agar mereka dalam
kebahagiaan dan kesejahteraan.
Allah memberikan hukum taurat secara
tegas dan konkrit, dengan maksud bahwa orang Isarel harus menyembah Yahweh
dengan segenap hati dan dengan segenap kekuatan (Ulangan 6:5). Hukum Allah
menunjukkan jalan untuk melayani Allah karena mengucapkan syukur. Hukum Allah
juga memuat janji orang percaya akan menjadi demikian: ia akan mengasihi Allah
dan sesama manusia.[8]
4. Sifat-sifat
hukum Taurat.
Sifat-sifat hukum Taurat ialah: bonitos
(kebaikan), perfectio (kesempurnaan), immutabilitas (tak dapat berubah) dan
spritualitas (kerohanian). Sifat-sifat ini bukanlah hasil pikiran otak manusia
belaka. Alkitab pun menyebutkan sifat-sifat itu.
Yang disebut kebaikan hukum Taurat
ialah, yang dipuja-puja didalam Mazmur. Yang disebut kesempurnaan hukum Taurat
ialah, bahwa hukum Taurat mencerminkan tuntutan Tuhan yang penuh kasih dan
hak-hakNya yang kudus. Yang disebut kerohanian hukum Taurat adalah bahwa saat
hukum Taurat itu telah kita taati dengan hati, roh, dan segenap kekuatan kita
akan menuntun kita dengan segenap hati kita untuk mencari persekutuan dengan
Roh Allah.[9]
Dari semua penjelasan tentang hukum
Allah dalam perjanjian lama adalah bentuk tindakan kasih Allah kepada bangsa
Israel dengan tujuan agar bangsa Israel patuh dan taat kepada Allah. Allah
memberikan hukumNya bukan karena Allah ingin membinasakan umat, tetapi agar
bangsa melakukan kehendak Tuhan untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan.
B.
Kasih
dalam Perjanjian Lama.
1. Pengertian
kasih dalam Perjanjian Lama.
Kasih adalah terjemahan kata Ibrani
“ahev”, merupakan kata umum dengan beragam makna sesuai kadarnya. Kata Ibrani
lainnya adalah “dod” dan “raya”. Kasih dalam PL adalah ungkapan yang paling
dalam dari kepribadian sekaligus hubungan pribadi yang paling akrab dan dekat.
Pada dasarnya merupakan kekuatan dari dalam yang mendorong untuk melakukan
suatu tindakan yang mendatangkan kegembiraan untuk melakukan pengorbanan diri
demi kebaikan orang yang dikasihi dan ketaatan yang tulus (1 Samuel 20: 17-42).[10]
Dari penjelasan tersebut, dapat kita
simpulkan bahwa kasih adalah tindakan yang dilakukan untuk kebaikan orang yang
dikasihi.
2. Sifat
kasih Allah
1. Bersifat
objektif yaitu objek kasih terutama adalah kelompok kolektif (Ul. 4:37), nenek
moyang (Amsal 8:17) yang mengasihi aku (Yesaya 43: 4).
2. Bersifat
pribadi. Berakar kuat pada diri Allah sendiri. Kasih itu lebih dari kasih
seorang itub kepada anak-anaknya (Yesaya 49: 15). Kasih Allah adalah bagian
dari kepribadianNya dan tak dapat diguncang murkaNya. Hosea 11: 1-4, 7-9,
adalah bagian PL yang paling dekat pada deklrasi bahwa Allah adalah kasih.
3. Bersifat
selektif. Kitab Ulangan mendasari hubungan perjanjian antara Israel dan Allah
pada kasih Allah yang terdahulu. Yahweh mengambil prakarsa dan memilih bangsa
Israel karena Ia mengasihi mereka (Ul. 4: 37). kasih ini spontan.[11]
C.
Relevansi
Hukum dan Kasih dalam Perjanjian Lama
khususnya kasih Allah yang nyata dalam kitab Ulangan sangat kaya. Kitab Ulangan
meningatkan dan menyenangkan masa yang lampau. Tindakan-tindakan Allah
menyatakan dan mewujudkan kasih-Nya yang Cuma-Cuma. Tanpa dasar TRuhan memilih
bangsa Israel menjadi umat pilihanNya dan melimpahkan anugerahNya. Tidak pernah
Tuhan meninggalkan atau melupakan umat-Nya, meskipun umat itu sering berontak
(7:6) dan meskipun Tuhan menghukum mereka, tetapi kasih Allah tetap nyata dalam
kehidupan bangsa Israel.
Dalam kehidupan sekarang banyak jemaat
Allah yang tidak lagi takut terhadap hukum dan ketetapan perintah Allah karena menganggap bahwa
manusia sudah bebas dari segala hukuman dan dosa oleh pengorbanan Yesus.
Manusia menganggap bahwa dengan kematian Yesus, manusia bebas melakukan apapun
sesuaia kehendaknya karena merasa hukum dan ketetapan Allah dalam Perjanjian
Lama tidak berlaku lagi. Dan ini adalah pandangan yang salah. Allah tidak
pernah mengubah hukum Taurat-Nya, dan Yesus pun tetap mengingatkan orang Farisi
bahwa hukum yang terutama adalah dan yang pertama adalah mengasihi Tuhan Allah
dan mengasihi sesama manusia. Mengasihi Allah berarti melakssanakan hukum Taurat
yang pertama sampai keempat. Dan
mengasihi sesama adalah melaksanakan hukum Turat yang kelima sampai kesepuluh.[12]Dan
ini adalah ayat emas yang selalu dibacakan setiap minggu digereja saat
membacakan hukum Taurat (Titah), dan inilah yang menjadi cirri khas Kristen
yaitu mengasihi.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukuman yang diberikan Allah kepada
bangsa Israel bukanlah hukuman kebencian, tetapi hukuman yang penuh kasih, yang
bertujuan untuk mengatur hidup umat-Nya dan mengarahkan jalan kepada setiap
umat-Nya agar umat-Nya hidup kudus dan bersatu dengan Allah sehingga umat hidup
dalam kebahagiaan dan kesejahteraan.
DAFTAR
PUSTAKA
Alkitab,
Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta: LAI, 2006
Barth,
Christoph dkk. Teologi Perjanjian Lama I, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012
Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini: Jilid I A-I, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OFM,
1992
Karman,
Yonky. Bunga Rampai: Teologi Perjanjian Lama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005
Lasor.
W.S. dkk, Pengantar Perjanjian Lama I: Taurat dan Sejarah, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2001
Niftrik,
Van G. C dan Bolan J. B. Dogmatika Masa Kini, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010
OFM,
Groenen C. Pengantar Kedalam Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisius, 1995
Soedarmo,
R. Kamus Istilah Teologi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994
Verkuyl,
J. Etika Kristen; Jilid I bagian umum, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982
[1]
Dr. G. C. Van Niftrik dan Dr. B. J. Boland. Dogmatika Masa Kini, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2010) hal 412
[2]
Prof. Dr. J. Verkuyl. Etika Kristen, Jilid I bagian umum, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1982) hal 142
[3]
Dr. Christoph Barth dkk. Teologi Perjanjian Lama I, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2012) hal 310
[4] Ibid, hal 306-307
[5] Ibid, hal 304
[6] Ibid, hal 320
[7] Yonky Karman. Bunga Rampai: Teologi Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2005) hal 88.
[8] Dr. R. Soedarmo. Kamus Istilah Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1994) hal 35.
[9] Prof. Dr. J. Verkuyl. Etika Kristen, Jilid I Bagian umum, (Jakarta
BPK Gunung Mulia, 1982) hal 98-99.
[10] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini: Jilid I A-I, (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1992) hal 524.
[11] Dr. C. Groenen OFM. Pengantar Kedalam Perjanjian Lama, (Yogyakarta:
Kanisius, 1995) hal 131
[12] W. S. Lasor dkk. Pengantar Perjanjian Lama I; Taurat dan Sejarah,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001) hal 224
Tidak ada komentar:
Posting Komentar