Beriman dan Berhikmat!
Hikmat adalah kecakapan hidup, demikian dalam Perjanjian Lama. Pada masa kini kata hikmat mungkin lebih tepat diterjemahkan dengan kecerdasan. Semula kecerdasan yang paling dikejar adalah kecerdasan intelektual. Pada masa kini telah dikembangkan bahwa selain cerdas secara intelektual, dibutuhkan pula jenis kecerdasan yang lain yaitu: kecerdasan emosional (oleh agamawan ditambah dan dirangkum dengan kecerdasan spiritual!).
Cerdas secara intelektual berarti memaksimalkan logika. Manusia memiliki kemampuan berpikir yang amat mengagumkan. Kemampuan berpikir rata-rata manusia lebih daripada yang dapat dibayangkan oleh siapapun. Orang dengan tingkat kecerdasan intelektual yang pas-pasan ternyata mampu mengingat sebuah ensiklopedi (bayangkan!). Tapi itu bisa tidak maksimal jika ia juga tidak cerdas secara emosional. Kapasitas intelektual mesti ditopang oleh keberadaan emosional yang stabil. Tidak hanya stabil, tapi menimbulkan enerji yang luar biasa. Kecerdasan emosional dapat dilihat dari semangat yang kuat tapi tidak rapuh jika berhadapan dengan tantangan. Sepertinya untuk masa kita ini, kita bisa menemukan orang-orang yang tangguh secara iman. Mereka adalah orang-orang yang tidak tergoda oleh harta duniawi. Tidak bergeming mesti diolok-olok. Tidak gonta-ganti agama dan gereja meski dianiaya. Tetap rajin sembahyang mesti rejekinya tetap pas-pasan. Tidak jatuh kepada dosa amoral (jatuh kepada perbuatan asusila) dan dosa kriminal (jatuh kepada tindak kejahatan). Mereka adalah orang-orang yang tangguh dan militant. (Bahkan rohaniwan belum tentu seperti itu!)
Namun tampaknya mereka juga butuh hikmat baru. Yaitu hikmat yang membuat mereka tidak kehilangan rasa humor. Hikmat yang membuat mereka dengan lincah menempatkan diri kepada segala situasi tanpa harus kehilangan jatidiri. Ini dia yang sulit. Bagaimana kita dapat hidup dimanapun tanpa harus larut, tapi tetap menunjukkan nilai yang berbeda.
Mungkin itu beda-beda tipis dengan permisif kepada segala nilai. Bunglon. Kepada kejahatan. Kepada penindasan, ya: asal bukan saya! Kepada pelaku kejahatan kita bilang tidak apa-apa! Kepada orang yang hidup di dalam kemunafikan kita bungkam. Mungkin ada sejumlah alasan. Mulai dari takut orangnya tersinggung. Takut nanti kita tidak ditemani. Takut nanti kita dinilai tidak setia kawan…Begitukah?
Tampaknya untuk area di sini kita betul-betul diajak mikir. Harus ada beda antara, di satu sisi: mampu menempatkan diri secara luwes dan lincah dalam menerapkan norma-norma hidup beriman dengan di sisi yang lain: tidak punya sikap terhadap nilai-nilai yang ada seolah-oleh segala sesuatu adalah boleh! Itulah hikmat: kita tahu apa yang patut yang tidak. Kita tahu apa yang harus dilakukan pada saat yang tepat! Berarti hikmat yang benar butuh penerangan Allah, tapi juga dibarengi oleh tekad untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah pada segala keadaan. Di manapun dan kapanpun, taat dan hormat pada Allah serta kasih terhadap sesama!
Hikmat adalah kecakapan hidup, demikian dalam Perjanjian Lama. Pada masa kini kata hikmat mungkin lebih tepat diterjemahkan dengan kecerdasan. Semula kecerdasan yang paling dikejar adalah kecerdasan intelektual. Pada masa kini telah dikembangkan bahwa selain cerdas secara intelektual, dibutuhkan pula jenis kecerdasan yang lain yaitu: kecerdasan emosional (oleh agamawan ditambah dan dirangkum dengan kecerdasan spiritual!).
Cerdas secara intelektual berarti memaksimalkan logika. Manusia memiliki kemampuan berpikir yang amat mengagumkan. Kemampuan berpikir rata-rata manusia lebih daripada yang dapat dibayangkan oleh siapapun. Orang dengan tingkat kecerdasan intelektual yang pas-pasan ternyata mampu mengingat sebuah ensiklopedi (bayangkan!). Tapi itu bisa tidak maksimal jika ia juga tidak cerdas secara emosional. Kapasitas intelektual mesti ditopang oleh keberadaan emosional yang stabil. Tidak hanya stabil, tapi menimbulkan enerji yang luar biasa. Kecerdasan emosional dapat dilihat dari semangat yang kuat tapi tidak rapuh jika berhadapan dengan tantangan. Sepertinya untuk masa kita ini, kita bisa menemukan orang-orang yang tangguh secara iman. Mereka adalah orang-orang yang tidak tergoda oleh harta duniawi. Tidak bergeming mesti diolok-olok. Tidak gonta-ganti agama dan gereja meski dianiaya. Tetap rajin sembahyang mesti rejekinya tetap pas-pasan. Tidak jatuh kepada dosa amoral (jatuh kepada perbuatan asusila) dan dosa kriminal (jatuh kepada tindak kejahatan). Mereka adalah orang-orang yang tangguh dan militant. (Bahkan rohaniwan belum tentu seperti itu!)
Namun tampaknya mereka juga butuh hikmat baru. Yaitu hikmat yang membuat mereka tidak kehilangan rasa humor. Hikmat yang membuat mereka dengan lincah menempatkan diri kepada segala situasi tanpa harus kehilangan jatidiri. Ini dia yang sulit. Bagaimana kita dapat hidup dimanapun tanpa harus larut, tapi tetap menunjukkan nilai yang berbeda.
Mungkin itu beda-beda tipis dengan permisif kepada segala nilai. Bunglon. Kepada kejahatan. Kepada penindasan, ya: asal bukan saya! Kepada pelaku kejahatan kita bilang tidak apa-apa! Kepada orang yang hidup di dalam kemunafikan kita bungkam. Mungkin ada sejumlah alasan. Mulai dari takut orangnya tersinggung. Takut nanti kita tidak ditemani. Takut nanti kita dinilai tidak setia kawan…Begitukah?
Tampaknya untuk area di sini kita betul-betul diajak mikir. Harus ada beda antara, di satu sisi: mampu menempatkan diri secara luwes dan lincah dalam menerapkan norma-norma hidup beriman dengan di sisi yang lain: tidak punya sikap terhadap nilai-nilai yang ada seolah-oleh segala sesuatu adalah boleh! Itulah hikmat: kita tahu apa yang patut yang tidak. Kita tahu apa yang harus dilakukan pada saat yang tepat! Berarti hikmat yang benar butuh penerangan Allah, tapi juga dibarengi oleh tekad untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah pada segala keadaan. Di manapun dan kapanpun, taat dan hormat pada Allah serta kasih terhadap sesama!
Makna hikmat dalam Alkitab menandaskan
pertimbangan yang masuk akal, berdasarkan pengetahuan dan pengertian;
kesanggupan menggunakan pengetahuan dan pengertian dengan sukses untuk
memecahkan masalah, menghindari bahaya, mencapai tujuan-tujuan tertentu, atau
menasihati orang lain dalam hal-hal itu. Hikmat berlawanan dan sering
dikontraskan dengan kebebalan, kebodohan, dan kegilaan.—Ul 32:6; Ams 11:29; Pkh 6:8.
Kata dasar yang mengandung arti hikmat dalam
bahasa Ibrani adalah khokh·mah′ (kata kerja, kha·kham′), dan
dalam bahasa Yunani adalah so·fi′a, disertai bentuk-bentuk lainnya yang
terkait. Dan juga, ada kata Ibrani tu·syi·yah′, yang bisa diterjemahkan
”pekerjaan yang membawa hasil baik” atau ”hikmat yang praktis”, dan kata Yunani
fro′ni·mos dan fro′ne·sis (dari fren, ”pikiran”), yang
berkaitan dengan ”akal sehat”, ”kebijaksanaan”, atau ”hikmat yang praktis”.
Hikmat menyiratkan luasnya pengetahuan dan dalamnya
pengertian, kedua-duanya menghasilkan pertimbangan yang masuk akal dan jelas,
yang menjadi ciri hikmat. Orang berhikmat ”menyimpan pengetahuan bagaikan
harta”, memiliki tabungan pengetahuan untuk digunakan jika dibutuhkan. (Ams 10:14) Meskipun ”hikmat adalah hal
pokok”, nasihat yang diberikan ialah ”dengan semua yang engkau dapatkan,
dapatkanlah pengertian”. (Ams 4:5-7) Pengertian (istilah yang luas
maknanya, yang sering kali mencakup daya pengamatan) menambah kekuatan kepada
hikmat, banyak menambah kebijaksanaan dan kesanggupan untuk melihat ke depan,
yang juga merupakan ciri-ciri penting hikmat. Kebijaksanaan menyiratkan
kearifan dan bisa dinyatakan dalam tindakan yang hati-hati, pengendalian diri,
kesahajaan, atau pengekangan. ”Pria yang bijaksana [bentukan dari fro′ni·mos]”
membangun rumahnya di atas batu, karena telah mengantisipasi badai; pria yang
bodoh membangun rumahnya di atas pasir dan menderita malapetaka.—Mat 7:24-27.
Pengertian membentengi hikmat dengan cara-cara
lain. Misalnya, seseorang bisa jadi menaati perintah tertentu dari Allah karena
ia sadar bahwa ketaatan demikian adalah hal yang benar, dan dalam hal ini ia
memperlihatkan hikmat. Namun, jika ia benar-benar mengerti alasan yang
mendasari perintah itu, maksud baik di baliknya, dan manfaat yang
dihasilkannya, tekad hatinya untuk terus berjalan pada haluan hikmat tersebut
akan sangat dikuatkan. (Ams 14:33) Amsal 21:11 mengatakan bahwa ”dengan
memberikan pemahaman kepada orang berhikmat, seseorang memperoleh pengetahuan”.
Orang yang berhikmat senang memperoleh informasi apa pun yang akan memperjelas
pandangannya tentang akar suatu situasi, kondisi, dan penyebab masalah
tertentu. Dengan demikian, ia ”memperoleh pengetahuan” tentang apa yang harus
dilakukan dan mengetahui kesimpulan apa yang harus diambil, apa yang diperlukan
untuk mengatasi problem yang sedang dihadapi.—Bdk. Ams 9:9; Pkh 7:25; 8:1; Yeh 28:3; lihat PEMAHAMAN.
Apa yang butuh kita lakukan untuk berhikmatPertama, meminta hikmat dari Tuhan sendiri. Kita hanya bisa mendapat hikmat dari Tuhan kalau kita harus bersandar kepada Tuhan, dan kalau hidup tulus dihadapan Tuhan.
Kedua, menjaga hikmat kita. Kalau hikmat itu tidak dijaga maka ia akan hilang. Hikmat adalah bagian dari cara hidup kita. Ketika cara hidup kita serong, maka pudarlah hikmat yang ada pada kita.
Himat Allah diperlukan untuk:
- menyelesaikan persoalan/tantangan dengan baik
- hadapi dengan iman
- jaga hati supaya tidak tawar
melihat keadaan yang ada.
- fokus kepada Tuhan Yesus,bukan
kepada persoalan.[Ratapan 3:21-23,Mazm 26, Mazm 113]
- tetap bersuka cita karena janji Tuhan [Yosua 21:45a]
- tetap menjaga kekudusan [Mazm 34:22]
2. meraih keberhasilan , pengkotbah
10:10
3. menyenangkan hati Tuhan
4. dapat memenangkan banyak jiwa.
3. menyenangkan hati Tuhan
4. dapat memenangkan banyak jiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar