TEORI-TEORI
HAK-HAK ASASI MANUSIA
Dalam falsafah hukum
dan politik zaman sekarang ada cukup banyak keragaman, ketidaksesuaian dan
kekacauan tentang persoalan hak-hak asasi manusia. Tidak semua orang sepakat
tentang pentingnnya nilai moral dari suatu teori tentang hak-hak dasar.
Pembahasan sekuler modern mengenai hak-hak asasi manusia cenderung mengabaikan
dukungan-dukungan agama pada teori hak-hak asasi manusia. Kecenderungan pada
zaman sekarang ialah menyimpulkan hak-hak dasar dari fakta-fakta empiris atau
dari penggunaan akal. Teori-teori yang didasarkan pada akal bawaan manusia
berusaha membuat perhitungan rasional tentang hak-hak manusia manakah yang
seharusnya yang ada didalam masyarakat.
Disarankan agar
teori-teori sekuler tentang hak-hak asasi manusia jangan diperlakukan sebagai
bertentangan dengan pandangan-pandangan keagamaan. Keduanya dapat saling
melengkapi dan memperkuat. Agama mempunyai suatu pengaruh yang kuat pada hati
dan pikiran jutaan rakyat diseluruh Dunia. Dukungan Agama bagi martabat manusia
serta desakannya pada pembatasan-pembatasan moral atas kekuasaan pemerintah
merupakan alat yang ampuh untuk melawan penindasan dan ketidakadilan. Agama itu
dahulu dan sekarang, serta nantinya akan senantiasa merupakan kekuatan yang
ampuh melawan tirani. Doktrin bahwa setiap laki-laki dan perempuan adalah
anak-anak Allah dan bahwa kepribadian mereka karenanya adalah kudus, membawa
serta suatu keyakinan akan suatu kebebasan-kebebasan sipil dan penolakan
terhadap ideologi yang menjunjung tinggi Negara diatas harkat manusia. Agama
Kristen “Teologi Pembebasan” berusaha membebasakan umat manusia dari segala
sesuatu yang memperhambat dan menindasnya.
Oleh karena itu
pembahasan tentang hak-hak asasi manusia harus mencari dukungan dan bimbingan
dari doktrin keagamaan, sebab berbeda dengan teori-teori sekuler, keyakinan
keagamaan tentang harkat manusia tidak mudah dikesampingkan atau dianggap
melawan hukum.
HAK-HAK
MANUSIA YANG DASAR, ALAMI DAN ASASI
Hak asasi manusia adalah hak dasar atau pokok manusia yang dibawa
sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bukan pemberian penguasa. Hak
ini sifatnya mendasar atau fundamental bagi hidup dan kehidupan manusia dan
merupakan hak kodrati, yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan
manusia.
Hak-hak dasar melekat
sejak lahir. Hak-hak tersebut barlaku bagi setiap anggota umat manusia tanpa
memperhatikan faktor-faktor pemisah seperti Ras, Agama, Warna kulit, Kasta,
Kepercayaan, Jenis kelamin atau Kebangsaan. Hak-hak itu bersifat Supralegal :
Tidak tergantung pada adanya suatu Negara atau undang-undang dasar, mempunyai
wewenang untuk bertindak lebih tinggi, dan lepas dari pemerintah, dan dimiliki
manusia, bukan karena perbuatan amal dan kemurahan hati Negara tetapi karena
berasal dari sebuah sumber yang lebih unggul dari pada hukum buatan manusia.
Hak-hak dasar tersebut berperan sebagai garis-garis batas moral bagi wewenang
pemerintah.Hak-hak tersebut secara konsitusional dilindungi dari penyalahgunaan
oleh badan legislatif atau badan eklusif.
HAK
ASASI WARGA NEGARA DAN SASARAN PERLINDUNGAN KHUSUS HAK ASASI MANUSIA DI
INDONESIA
Pada
dasarnya instrumen HAM sedunia melindungi seluruh umat manusia. Namun ada yang
mendapatkan perhatian secara khusus, yaitu kelompok-kelompok rentan yang
lazimnya tidak mampu melindungi Hak Asasinya sendiri, seperti;
a. Kanak-kanak
b. Kaum
wanita
c. Kaum
pekerja
d. Minoritas
e. Penyandang
cacat
f. Penduduk
asli atau suku terbelakang (indigenous
people)
g. Tersangka,
tahanan dan tawanan
h. Budak
i. Korban
kejahatan
j. Pengungsi
k. Mereka
yang tidak berkewarganegaraan (stateless)
HAK-HAK
NEGATIF DAN HAK-HAK POSITIF
Sebagian besar
undang-undang dasar di Dunia memuat ayat-ayat untuk mengamankan kehidupan,
kebebasan, harta benda, kebebasan berbicara, kebebasan beragama dan seterusnya.
Ini adalah kebebasan-kebebasan negatif karena kebebasan-kebebasan itu tumbuh
subur apabila tidak dicampuri Negara. Hak-hak positif, seperti hak atas
pendidikan, pekerjaan, persamaan, ekonomi, keamanan sosial dan kelangsungan
hidup membutuhkaan tindakan nyata dan tegas dari pihsk Negara.Hak-hak itu mengungkapkan
tuntutan-tuntutan tegas atas pemerintah untuk melindungi yang lemah dari
kemiskinan dan untuk menolong mereka yang kekurangan.
Namun,
sebagian besar undang-undang dasar itu tidak memuat hak-hak positif karena
besarnya implikasi ekonomi dan sosial dari hak-hak positif yang dapat
ditegakkan secara hukum semacam itu. Oleh karena itu banyak sistem hukum
menempuh semacam jalan tengah dengan mencantumkan suatu bab tentang
prinsip-prinsip dalam garis besar haluan Negara tetapi membuat ayat-ayat bab
tersebut tidak dapat diadili dalam suatu pengadilan hukum
HAK
ASASI DAN HAK KESEHATAN YANG BERKAITAN
DENGAN PEWABAHAN HIV/AIDS
Setiap
orang memiliki hak atas kesehatan sebagai hak fundamental. Sehingga dengan
adanya hak tersebut setiap individu memiliki kewajiban untuk berusaha memenuhi
standar kesehatan yang tertinggi yang mungkin tercapai dalam masyarakat. Dengan latar pemikiran tersebut, kita dapat
memahami bahwa Negara atau pemerintah menetapkan kebijakan atau strategi dalam
upaya menciptakan keadaan dimana hak-hak kesehatan bisa dipenuhi untuk mencapai
tujuan yang dapat diterima. Namun kenyataannya sering terjadi bahwa kebijakan
dan strategi tersebut justru sebaliknya membatasi hak-hak diri seseorang atau
kelompok dalam masyarakat.
Kita dapat melihat sejauh manakah pembatasan
tersebut dapat diterima, karena pembatasan ini dibuat untuk melindungi hak
orang lain atau kelompok masyarakat. Secara praktis dapat dikatakan sejauh mana
pemerintah dapat mengatur, melakukan pencegahan, menangani, menanggulangi
penyebaran HIV/AIDS dengan membatasi hak-hak seseorang atau hak satu kelompok
dalam masyarakat.
Pembatasan terhadap hak
sebenarnya dikenal dan diakui dalam
komunitas internasional, dimana pernyataan umum tentang hak asasi
manusia juga diakui adanya pembatasan-pembatasan terhadap hak-hak seseorang.
Untuk memahami sejauh mana Negara berhak membatasi hak-hak tersebut, pernyataan
umum hak asasi manusia memberikan penegasan : ”Dalam menjalankan hak-hak dan
kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada
pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh UU dan dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak bagi hak-hak dan
kebebasan-kebebasan orang lain dan untuk memenuhi syarat-syarat benar dari
kesusilaan, tata tertib umum, serta keselamatan umum dalam suatu masyarakat
demokratis”.
Pembatasan itu harus
ditetapkan dengan UU dan memiliki tujuan pembatasan yang jelas sepenuhnya untuk
menjamin hak-hak dan kebebasan orang lain. Untuk itu diperlukan syarat-syarat
yang benar-benar adil, the just
requirement. Jadi tidak didasarkan pada prasangka buruk, tidak didasarkan
pada pengetahuan yang setengah-setengah, dan didasarkan pada pendapat-pendapat
yang stereotip, tetapi the just
requitment itu membutuhkan suatu pemahaman dan pengetahuan yang memadai.
Sebagai contoh,
bilamana seseorang dipecat dari pekerjaannya karena mengidap penyakit HIV/AIDS
hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak-haknya. Orang yang melakukan
pemecatan itu karena tidak mempunyai pengetahuan yang cukup bahwa sebenarnya
orang tersebut tidak apa-apa bekerja ditempat kerjanya. Serta penolakan
disekolah seperti yang terjadi di Irian Jaya, hal itu merupakan pelanggaran hak
asasi manusia. Dan bilamana ada rumah sakit yang menolak seorang pengidap
HIV/AIDS untuk memperoleh perawatan, hal itu jelas merupakan pelanggaran.
Kenapa terjadi
penolakan sebenarnya didasarkan pada pengetahuan yang tidak cukup sehingga
pembatasan terhadap apa yang sebenarnya dibolehkan itu menjadi pelanggaran.
Bisa karena pengetahuan dari lembaga yang bersangkutan atau ketakutan mengenai
pengetahuan masyarakat luas yang bisa mengancam posisi lembaga tersebut dalam
masyarakat. Ancaman pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia sebenarnya tidak
hanya datang dari pihak pemerintah atau Negara, tetapi ancaman terhadap hak-hak
itu sendiri bisa datang dari masyarakat. Kita bisa membaca bagaimana dalam
kelompok-kelompok masyarakat juga melakukan tindakan yang melanggar hak asasi
dari seorang penderita HIV.
Berat dugaan kita bahwa
masyarakat itu sendiri tidak mempunyai pengetahuan yang cukup hingga ia dapat
menghormati hak asasi orang lain. Masyarakat umum, apalagi didaerah pedesaan
yang tidak mempunyai akses yang cukup terhadap informasi dan pengetahuan
tentang HIV/AIDS tentu saja merasa perlu melindungi diri mereka sesuai dengan
apa yang mereka ketahui tentang penyebaran sebuah penyakit menular yang bukan
HIV/AIDS. Sama seperti pemerintah atau institusi lain yang tidak mempunyai pengetahuan yang
cukup terhadap penyakit itu, sehingga tindakan yang dimaksudkan untuk
melindungi hak orang lain ternyata harus mengorbankan hak orang lain.
Dalam Strategi Nasional
Penanggulangan AIDS Indonesia, terdapat prinsip dasar bahwa setiap kebijakan
program pelayanan kegiata harus tetap menghormati harkat dan martabat dari
penderita AIDS atau pengidap HIV dan keluarganya, artinya sebagai suatu
rumusan, kita sudah cukup maju didalam perumusan kebijakan dan strategi
penanggulangan AIDS.
Secara
khusus pekerja seks komersial terlibat dalam kegiatan resiko tinggi terhadap
penginfeksian HIV dan sangat rentan terhadap perlakuan sewenang-wenang dan
penindasan. Dari semenjak mula kasus-kasus HIV/AIDS di Indonesia, berbagai
lembaga penelitian memilih mereka sebagai sasaran penelitian dan tes darah HIV.
Tes darah yang dilakukan menunjukkan adanya sebuah asumsi yang menimbulkan
permasalahan dikalangan masyarakat luas yaitu bahwa pekerja seks atau pelacur
merupakan sumber penyebaran pewabahan ini.
Kita
mengetahui bahwa pelacuran merupakan kegiatan yang dianggap melanggar hukum.
Namun sejauh ini pemerintah tidak secara jelas melakukan pelarangan, bahkan
cenderung menutup mata terhadap munculnya daerah-daerah pelacuran. Dengan
situasi ilegal ini, pelacuran menjadi daerah yang menjadi ajang penindasan dan
pemerasan, dan perlakuan kekerasan tanpa perlindungan sama sekali, apalagi
dengan jumlah peredaran uang yang berkaitan dengan kegiatan ini sangat tinggi.
Padahal dengan melakukan kegiatan ini tidak berarti hak-hak mendasar dan
hak-hak fundamental mereka menjadi hilang. Hak-hak mereka sebagai manusia
biasa, misalnya untuk memperoleh peradilan yang jujur, untuk diperlakukan adil
dan tidak diperas, serta hak-hak yang berkaitan dengan keberadaan mereka. Namun
hak ini tidak bisa mereka nikmati karena mereka tidak terlindung sama sekali.
Secara
umum bisa dikatakan bahwa justru mereka yang kedudukannya sangat lemah yang
justru sangat memerlukan bantuan hukum. Tetapi hingga saat ini, tidak ada
sebuah LSM yang bergerak dibidang hukum atau perempuan secara husus menaruh
perhatian kepada mereka. Mungkin karena prioritas yang ada, dimana banyak
lembaga-lembaga yang memusatkan perhatian kepada masyarakat dikalangan
menengah.
PERLINDUNGAN
TERHADAP PENDERITA PENYAKIT MENTAL
Deklarasi universal
Hak-hak Asasi Manusia, telah memberikan inspirasi bagi diadakannya
perjanjian-perjanjian internasional dan dokumen regional hak-hak asasi manusia.
Dalam semangat inilah sejumlah pakar dan aktivis hak-hak asasi manusia dan juga
beberapa delegasi pada badan-badan PBB yang berkompeten mengemukakan masalah
perlindungan kebebasan-kebebasan dasar, hak-hak asasi dan hak-hak hukum dari
orang-orang yang dinyatakan dokter ”sakit mental” atau menderita “kekacauan
mental”.
Semakin lama semakin
jelas bahwa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan kerap justru menimbulkan
ekses-ekses dan pengaruh merugikan bahkan dalam beberapa kasus merupakan
ancaman bagi integritas fisik dan mental manusia. Akibatnya dalam kasus-kasus
seperti itu individu memerlukan sekali perlindungan masyarakat yang efektif,
misalnya : dilindungi dari penyalahgunaan kemajuan teknologi dan ilmu
kedokteran modern yang tidak sesuai dengan terapi kedokteran yang biasa atau
tidak sejalan dengan hak-hak asasi manusia.
Media massa internasional sering kali menarik perhatian
opini dunia kepada kenyataan bahwa ada orang-orang yang telah dilucuti
kebebasan mereka, dimasukkan dan ditahan secara paksa dalam lembaga-lembaga
penyakit jiwa, penyalahgunaan psikatri secara menyeramkan , merawat secara
kejiwaan dengan cara yang salah, dan penyiksaan dengan menggunakan obat-obat
dalam bentuk yang berlawanan dengan etika kedokteran dan melanggar dokumen
hak-hak asasi manusia yang relevan.
Karena alasan-alasan
ini, maka hukum dan praktek yang berkenan dengan hal-hal seperti itu, misalnya
prosedur untuk menentukan apakah terdapat cukup alasan menahan orang sebagai
berpenyakit jiwa atau menderita kelainan mental dan juga mengenai hak-hak asasi
mereka untuk memperoleh perlakuan manusiawi dan medis yang tepat, telah lama
merupakan pokok permasalahan yang diperdebatkan, dikritik dan diteliti. Antara
lain diajukan pendapat bahwa dimasukkannya orang secara tidak sukarela dan
ditahan dalam rumah sakit jiwa tidak dapat dibenarkan dan harus dihapuskan.
Pemerkosaan hak dengan jalan memasukkan
dan menahan orang secara tidak sukarela kedalam rumah sakit jiwa telah terjadi
di beberapa penjuru dunia, terutama terhadap orang-orang yang mempertahankan
kebebasan-kebebasan fundamentalnya dan melakukan hak-hak asasi manusia mereka.
Pengobatan kejiwaan yang salah ini dilihat
sebagai penyalahgunaan yang jahat dari teknologi ilmiah dan kedokteran.
Obat-obat digunakan untuk menyiksa orang-orang yang didiagnosis sebagai orang
yang berpenyakit jiwa. Tingginya tingkat keresahan sosial, seperti kecanduan
narkotik, alkoholisme, pemerasan tenaga anak-anak, kekerasan dan penyelewengan,
dalam kasus-kasus tertentu adalah behubungan dengan adanya jenis-jenis penyakit
jiwa tertentu.
Komisi hak-hak asasi
manusia mempersiapkan sebuah laporan tentang masalah itu, dengan tujuan
merumuskan pedoman tentang tindakan pengobatan yang dapat digunakan dengan
benar dalam mengobati orang-orang yang ditahan karena kesehatan mentalnya, dan
prosedur untuk menentukan apakah ada alasan yang cukup untuk menahan
orang-orang seperti itu dan menggunakan tindakan-tindakan pengobatan yang
demikian itu.
Dan pada akhirnya
komisi hak-hak asasi manusia mampu mengambil langkah-langkah yang dianggap
perlu untuk melindungi hak orang yang ditahan berdasarkan kesehatan jiwa yang
sakit, atau menderita gangguan mental.
Dewasa ini martabat dan
nilai manusia bukanlah hanya suatu konsep filsafat. Ia merupakan suatu prinsip
kerja dan memperlakukan manusia yang membimbing kita dalam kehidupan
sehari-hari. Setiap manusia tanpa perbedaan dalam hak-hak asasinya dan
kebebasan fundamentalnya. Dimana yang menjadi prinsip utamanya adalah kata-kata
yang tercantum pada alinea pembukaan Deklarasi Universal Hak-hak asasi
manusia.”Pengakuan atas martabat alamiah dan hak yang sama dan tidak dapat
dihilangkan dari semua anggota masyarakat manusia adalah dasar dari
kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia.
WAWASAN
INDONESIA TENTANG SUBSTANSI DAN PENEGAKAN HAM
Hukum dasar tertulis
adalah Undang-Undang Dasar 1945, yang terdiri dari pembukaan, Batang Tubuh, dan
penjelasan. Sedangkan Hukum Dasar Tidak tertulis adalah kaidah-kaidah dasar
yang melengkapi hukum Dasar Tertulis, yang timbul dalam praktek penyelenggaraan
negara. Pada Hukum Dasar tertulis, dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
tercantum kaidah-kaidah HAM yang bersifat filsafati, seperti bahwa kemerdakaan
itu adalah hak semua bangsa yang berdasar pada peri kemanusiaan dan peri
keadilan; bahwa negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan
rakyat, yang selanjutnya berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmah Kebijaksanaan dalam permusyarawatan/Perwakilan; dan bahwa tujuan negara
Republik Indonesi adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan Umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkanKemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
Hak dan kewajiban warga
negara diatur secara khusus dalam pasal-pasal dan batang tubuh Undang-Undang
Dasar 1945. Adapun pasal-pasal yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban
asasi warga negara adalah:
(1) Pasal
27 ayat 1, segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintah dan wajib menjungjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.
(2) Pasal
27 ayat 2, tiap-tiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi manusia.
(3) Pasal
28, kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran, dengan lisan atau lisan
dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
(4) Pasal
29 ayat 2, negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat.
(5) Pasal
30 ayat 1, tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan
negara.
(6) Pasal
31 ayat 1, tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
(7) Pasal
33 ayat 1, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan.
(8) Pasal
33 ayat 2, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara.
(9) Pasal
33 ayat 3, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
(10) Pasal
34, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
Pada tanggal 10
Desember 1995, dalam rangka peringatan 50 Tahun Indonesia merdeka dan
bertepatan dengan hari ulang tahun the
Universal Declaration of Human Rights, bekrjasama dengan Universitas
Diponegoro di Semarang, Komnas HAM telah menyelanggarakan Seminar Nasional HAM.
Seminar tersebut menampilkan dua keynote
speakers, yaitu ketua Human Rights
Commite PBB, Tan Sri Datuk Musa Hitam dan Menteri Negara Sekretaris Negara,
Drs. Moerdiono, menghasilkan beberapa kesimpulan penting antara lain sebagai berikut:
1. HAM
mencakup segala bidang kehidupan manusia dan tidak dapat dipisahkan satu sama
lain.
2. Pembangunan
dan Demokrasi saling berkait dan saling bergantung satu sama lain.
3. Indonesia
tidak lagi merupakan tradisional, tetapi telah berkembang menjadi masyarakat
modern melalui proses pendidikan. HAM tidak bertentangan dengan kebudayaan
Indonesia dan dapat menjadi sarana untuk menerjemahkan kepedulian sosial dan
kondisi negara modern.
4. HAM
telah menjadi etika politik modern dan dengan demikian menjadi moral pemerintahan.
5. HAM
merupakan pengejawantahan seluruh Sila Pancasila dan bahkan dapat dipahami
sebagai operasionalisasi Pancasila.
6. Masih
diperlukan dialog kolektif untuk menyamakan persepsi bangsa kita mengenai HAM
7. Pemajuan
dan peningkatan HAM akan berjalan dengan efektif dalam rangka kerjasama antar
bangsa dengan basic-guide-nya
Deklarasi Umum HAM PBB.
8. Pembangunan
ekonomi sesungguhnya bertujuan memenuhi hak-hak ekonomi dari setiap orang
dengan prinsip persamaan.
9. Meningkatnya
kasus-kasus tanah mennunjukkan rentannya perlindungan terhadap hak atas tanah,
khususnya bagi masyarakat lemah. Khusus mengenai hak ulayat, yang bukan
semata-mata menyangkut hak ekonomi tetapi juga menyangkut eksistensi masyarakat
adat, jaminan yang telah dibuat dalam UUPA atas hak ulayat harus menjadi acuan
dalam merumuskan kebijakan ekonomi.
10.
Pemajuan dan perlindungan hak-hak buruh
atau pekerja lebih mendapat perhatian dan perbaikan pada kondisi perburuhan,
termasuk perbaikan hak sipil dan politik. Yang akan memberikan peluang bagi
pemenuhan hak-hak ekonomi buruh.
11.
Kedudukan dan peran Komnas HAM perlu
lebih diperkuat tanpa harus menjadi super-body
dengan terus mengembangkan asas-asas kerja yang faktual, persuasif, mandiri,
obyektif dan adil, serta kemitraan.
12.
Konsep HAM sesungguhnya bukan merupakan
konsep yang baru di Indonesia, oleh karena penghormatan terhadap hak dan
martabat manusia sudah terkandung dalam ajaran agama dan budaya rakyat
Indonesia sejak dahulu kala.
13.
Dialog harus tetap dibuka, baik pada
aras nasional maupun internasional, untuk menentukan keseimbangan antara hak
individu dan hak kolektif, antara nilai yang universal dengan yang partikular,
untuk memenuhi tuntutan hidup yang terus berubah.
14.
Pembangunan hukum nasional merupakan
bagian yang penting dalam usaha menegakkan dan melindungi HAM.
15.
Sebagai bangsa yang merdeka dan
berdaulat, kita merasa berdaulat dan bermartabat untuk melakukan harmonisasi
instrumen HAM internasional dengan perundang-undangan nasional.
MASALAH
HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
Setelah
Indonesia merdeka masalah Hak Asasi Manusia
dicantumkan dengan tegas pada Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, baik
dalam pembukaan UUD 1945 pada pasal-pasalnya. Kemerdekaan adalah hak bangsa,
karena sesuai dengan rasa keadilan dan rasa perikemanusiaan. Hak asasi Manusia
dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban warga negara.
KOMISI
NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (INDONESIA)
Lembaga komnas HAM
adalah lembaga mandiri, bukan badan pemerintah. Pemerintah memberikan subsidi
atau bantuan untuk mendukung kegiatan operasional lembaga tersebut walaupun
demikian ia tidak tergantung pada pemerintah. Subsidi pemerintah ini tidak akan
mempengaruhi kegiatannya. Baik pemerintah maupun komnas HAM saling percaya
antara satu sama lain, tidak akan ada prasangka atau kecurigaan. Komisi
Nasional Hak-Hak Asasi Manusia di bentuk pada tahun 1993 yang diketuai Ali
Said, S. H. Dengan anggota 25 orang. Sebagai lembaga yang mandiri masyarakat
mengharapkan agar Komnas HAM benar-benar menemukan identitasnya sebagai lembaga
yang benar-benar bebas dari pengaruh luar, tidak ada pengaruh dari pihak mana
pun juga. Masyarakat benar-benar mengaharapkan lembaga ini menunjukkan
kemandirian dirinya. Kehadiran lembaga ini dapat perhatian dari pelbagai
kalangan yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, seperti misalnya kalangan
buruh, tani, mahasiswa, rakyat biasa, dan bahkan kalangan ormas dan orpol,
serta kalangan di dalam dan di luar negeri. Tugas-tugas yang diemban oleh
Komnas HAM membutuhkan keahlian, profesional dan memiliki seni tersendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Bahar
Saatroedin, 1996. Hak Asasi Manusia,
Analisis dan Jajaran Hankam ABRI. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Davies
Peter, 1994. Hak Asasi Manusia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hoas
Robert, 1998. Hak-hak Asasi Manusia
dan Media. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Maxwell.
C. John, 1987. Hak Untuk Memimpin.
Medan: Mitra Media.
Siyaranamual.
R. Julius, 1997. Etika Hak Asasi, dan
Pewabahan AIDS. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Widjaja.
H. A. H, 2000. Penerapan Nilai-nilai
Pancasila dan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Ditulis Sejak kuliah di STAKPN Tarutung